20-b

40.6K 5.4K 670
                                    

"Yang, tega kamu Yang. Tega."

"Ya Allah, astagfirullah gusti. Kak Bram, kamu tuh bentar lagi mo tiga puluh lho. Ngapain malu-malu segala?!"

Sejak lima menit yang lalu—sesaat mereka telah sampai di depan rumah, Nela sibuk menarik tangan Bram untuk turun dari mobil, tetapi pria itu terus menggeleng dan pupil matanya bergetar karena ketakutan. Alasannya cuma satu yaitu Bram enggan menuruti ucapan Nela yang menyuruhnya sholat maghrib di masjid bersama Johan. Dan yang lebih membuat Bram enggan lagi saat Nela tidak bisa ikut dengan mereka perihal datang bulan.

Karena jarak antara rumah Nela dan masjid cukup dekat bila ditempuh dengan berjalan kaki—sekitar dua ratus meter—sehingga Johan lebih sering menunaikan kewajiban sholat di masjid ketimbang di rumah.

Ketika Bram meminta untuk diajarkan sholat padanya, reaksi pertama Nela adalah syok. Saking syoknya, dia bahkan tidak mempermasalahkan tangannya yang diperawani oleh bibir Bram. Setelah berhasil menurunkan kadar kagetnya, Nela pun menyerang Bram dengan belasan pertanyaan dan pernyataan.

"Kamu gak pernah sholat?!"

"Kapan terakhir kali kamu sholat?!"

"Astagfirullah kak Bram! Sholat Jum'at juga gak pernah?!"

"Coba kamu sebutin niat sholat maghrib, aku mau denger."

"Gak apal juga?! Ya Allah.. ampunilah dosa Bram Sadewa ini. Kalo berapa rakaat sholat maghrib tau gak?"

Respon Bram hanya dengan anggukan atau gelengan kepala, kecuali pertanyaan Nela yang menanyakan berapa rakaat sholat maghrib tersebut. Ia menjawab dengan benar yaitu tiga rakaat. Ia ingat pelajaran agama waktu sekolah dasar yang mengatakan cuma sholat maghriblah yang memiliki jumlah rakaat ganjil.

Nela mengembuskan napas lega. Setidaknya, Bram tidak buta-buta amat soal agama. Namun yang jelas, dia memang butuh bimbingan untuk kembali ke jalan yang benar. Di sisi lain, Nela bersyukur bahwa Bram punya niat untuk berubah. Ia bahkan tersentuh saat Bram meminta bantuannya. Dia merasa menjadi wanita yang spesial bagi pria itu.

"Mau turun gak?" Nela akhirnya melepaskan tangan Bram. Dahinya mengenyit lantaran kesal melihat tingkah Bram yang kekanakan. Disuruh sholat ke masjid saja sama kayak kucing disuruh mandi. Amit-amit banget playboy insaf satu ini.

Bram menutup wajahnya putus asa, "Yang, ajarin sholatnya pelan-pelan, jangan langsung nyuruh aku buat sholat ke masjid. Mau taruh di mana wajah aku nanti."

Bila diibaratkan anak anjing, mungkin saat ini telinga Bram sedang turun ke bawah sembari matanya yang berkaca-kaca. Nela gemas pengen cubit pipi Bram yang tirus itu, tetapi karena sekarang obrolan mereka tengah serius, ia memilih untuk tidak melakukannya.

"Gak apa-apa sih. Di masjid kan sholatnya berjamaah, jadi kamu ngikutin imam aja gerakan-gerakannya. Nanti setelah itu, baru kita belajar sholat yang bener sama-sama," ujar Nela sembari menopang kepalanya dengan tangan di atas dashboard. Ia mencoba memberi pengertian kepada Bram bahwa tidak ada salahnya untuk mencoba. Kenapa harus malu pergi ke masjid? Seharusnya dia malu kalau disuruh pergi ke kelab malam yang penuh dengan dosa maksiat itu, pikir Nela.

Bram menggeleng sekali lagi, "tapi Sayang...."

"Ya udah, terserah kamu kalo gak mau."

Belum selesai Bram berbicara, Nela segera membuang muka dan hendak membuka pintu mobil. Wajahnya tertekuk masam, marah sekaligus jengkel dengan sikap Bram yang penakut. Namun sayangnya, pelaku penyebab kekesalannya itu dengan cepat menarik tangannya sehingga ia berhenti bergerak.

"Tunggu, jangan marah dulu." Bram memasang wajah melas. Otaknya bereaksi kilat kala melihat wajah Nela yang siap memusuhinya. Ketakutan luar biasa menyeruak di hatinya saat membayangkan hubungan mereka akan renggang oleh masalah ini.

Playboy Insaf [TAMAT]Where stories live. Discover now