Delapan Belas

40.4K 5.6K 450
                                    

"Nah gitu dong, kalo balik kuliah cepet kabarin aku."

Dengan wajah puas dan senyum yang lebar, Bram mengusap kepala Nela yang dibungkus jilbab segi empat warna biru dongker. Gadis itu masuk ke dalam mobil Bram yang juga baru saja sampai di depan kampusnya.

"Tapi kamu tetep lama jemputnya. Aku udah nunggu setengah jam lebih," kata Nela sambil cemberut setelah menepiskan tangan Bram yang akhir-akhir ini makin kurang ajar saja. Mentang-mentang sengaja ia diamkan, Bram jadi melunjak. Kalau dimarahin, jawabannya pasti selalu sama, yaitu 'maaf Yang, khilaf.' Nela heran, khilaf kok jadi kebiasaan?

Bram melajukan mobilnya menuju jalan besar setelah keluar dari gang yang menjadi pintasan ke arah kampus Nela. Matanya penuh dengan binar cinta karena terlalu senang melihat Nela yang rela menunggu jemputan darinya. Walau status hubungan mereka sekarang belum jelas, tetapi kedekatan mereka persis seperti sepasang kekasih. Bahagianya Bram.

"Tadi agak macet di Pulomas, Yang. Oh ya. Kenapa hari ini pulang cepet?" tanya Bram saat Nela telah memakai sabuk pengaman. Dia ingat ucapan gadis itu tadi pagi jika hari ini, jadwal kuliahnya selesai pukul lima. Tetapi nyatanya, Nela mengirimkan pesan pada Bram bahwa dia sudah keluar kelas pukul dua siang.

"Biasa gitu lho, dosennya tak masuk. Jadi aku cuma titip absen aja," jawab Nela sambil memainkan ponsel.

"Ohhh..." Bram menganggukkan kepalanya beberapa kali, "jadi, mau langsung pulang atau gimana nih?"

Nela mengetuk-etuk dagunya seolah sedang berpikir, "ehmmm..." Kedua matanya menerawang jauh ke depan, bimbang mau pergi kemana sebab dia juga malas pulang ke rumah di siang hari yang terik ini. Palingan kalau dia cepet balik ke rumah, mungkin dia akan rebahan di kasur sampai maghrib. Males banget kan. Sayang tenaganya.

Tapi mau kemana ya? Ngemol? Bosen deh. Gramedia? Baru kemarin lusa mampir ke sana. Nyari tempat makan? Ugh, masih kenyang.

"Aku bingung mau kemana. Kamu ada saran gak?" Akhirnya, Nela melempar kembali pertanyaan sejenis pada Bram.

Bram seketika bersemangat ditanyai seperti itu. Jarang-jarang soalnya Nela menawarkan pilihan—entah tentang apapun itu kepadanya. Oleh karena itu, ia harus menjawab pertanyaan Nela dengan baik dan sempurna.

Pria itu mulai mengabsen tempat-tempat menarik yang layak dikunjungi saat waktu senggang. Kira-kira tempat yang juga bagus untuk dijadikan tempat kencan.

Bar? Waduh, Nela pasti gak mau diajak ke sana. Apalagi, pilihan bar yang sudah buka di siang hari cuma sedikit.

Kolam renang?

Hmm, Bram melirik ke arah sampingnya, dimana Nela ternyata sedang menunggu sebuah jawaban darinya. Namun sayang, Nela sepertinya gak bawa pakaian dalam ganti. Jadi, kolam renang pass.

Main golf? Bram yakin seratus persen, Nela belum pernah mencoba memegang stick golf. Ah, kalau begitu, sudah pasti Nela juga tidak bisa melemparkan bola golf kan.

Bram mendadak tersenyum miring. Otak liciknya mulai mencari cara untuk bisa modusin Nela. Sambil menyelam minum air, ia bisa mengajari Nela berbagai teknik bermain golf sekaligus memeluk gadis itu dari belakang secara tidak langsung. Kemudian, dia bisa mengusap tangan dan lengan Nela dengan lembut selama beberapa menit. Setelah itu, Nela pun menoleh ke belakang sehingga wajah mereka mulai saling mendekat, dan....

"Akh!" Bram spontan mengusap lengannya karena Nela menyematkan cubitan andalannya di sana, "sakit Yang."

"Kamu tuh kelamaan mikir! Terus pake senyum-senyum gaje lagi. Kayak om-om mesum tau gak," kata Nela sambil menatap Bram dengan curiga.

Bram mengusap bibirnya dengan cepat. Ya ampun, dia senyum ya tadi? Dia yakin, ekspresi wajahnya biasa-biasa saja kok.

"Jahat banget sih, masa' aku mirip om-om mesum. Yang bener itu, bujang ganteng Sayang," kata Bram seraya menaikkan sebelah alisnya.

Playboy Insaf [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang