"Ngomng-ngmong lo anak tingkat satu ya?"

Tidak seperti biasanya, kali ini Antarika menemukan dirinya sulit untuk berkata terlebih ketika ucapannya kembali membuat cewek di depannya itu mengangkat wajahnya hingga membuat kedua mata mereka saling bersitatap.

Lantas pada mata itu

Antariksa menemukan jiwanya tenggelam.

Semakin dalam pada iris hitam yang beberapa saat lalu menatapnya tajam.

"Iya," lagi, Antariksa mendapat jawaban singkat yang mampu membuat dia hanya mampu garuk-garuk lehernya.

Entahlah, Antariksa pikir cewek yang saat ini duduk di depannya dan beberapa hari lalu ia berikan ice cream oreo secara cuma-cuma itu seperti memiliki kekuatan untuk membuat semua kata-kata yang biasanya lancar ia katakan menjadi hilang.

"Oh... pantesan baru lihat,"

"Iya Kak."

"Jurusan apa?" Tidak menyerah Antariksa terus bertanya agar suasana yang ada tidak terlalu terasa canggung.

"Seni rupa murni,"

Mendengar seni rupa murni keluar dari mulut cewek itu, seketika itu pula mata Antariksa berubah menjadi berbinar.

Tidak salah memang jika ia dinamai Antariksa, karena mata berbinarnya yang saat ini ia tunjukan pada cewek di depannya itu seperti miniatur dari hamparan bintang yang bersinar memenuhi jagat raya.

"Wah gila, keren tuh, jurusan yang dulu gue mau." Ujarnya sambil melipat kedua tangannya di atas meja dengan tatapan yang lurus ke depan tepat pada sepasang iris hitam yang sama-sama menatap ke arahnya seolah hanya Antariksa yang ada di sana. "Tapi sayang, gue gak bisa masuk ke sana, dan akhirnya malah terjebak di jurusan yang gak pernah gue inginkan."

Ucapan Antariksa barusan berhasil membuat cewek di depannya itu berhenti menggoreskan berbagai spektrum warna pada sketchbook yang tadi sempat berada di tangannya lalu menyimpan sketchbook itu ke atas meja kemudian melipat kedua tangannya seolah ia siap mendengar cerita perihal keingan cowok itu untuk masuk jurusan seni rupa murni.

"Kenapa?" Tanyanya mengawali rasa ingin tahunya yang langsung mendapat respon positif dari Antariksa.

"Keluarga gue memandang sebelah mata orang yang masuk jurusan seni."

"Kok gitu? Kan kuliah di jurusan apapun tujuannya sama, sama-sama menuntut ilmu."

"Keluarga gue punya pandangan yang berbeda tentang jurusan seni. Mereka selalu beranggapan bahwa anak seni itu gak punya masa depan cerah seperti yang lainnya. Katanya nanti kalau udah lulus anak seni itu mau jadi apa? Kerja dimana? Dapet duit dengan cara apa? Gimana prospek pekerjaan dari jurusan seni dan segala alasan lain yang membuat gue pada akhirnya harus menggeser seni rupa murni menjadi pilihan tiga."

"Wah, berarti menurut keluarga lo, gue ini calon masa depan suram?"

"Iya, tapi bagi gue mau jurusan apapun kalau dia punya kemampuan dia pasti punya masa depan cerah kok. Termasuk lo. Malah kadang gue iri sama orang-orang yang bisa memperjuangkan apa yang mereka inginkan."

"Terus kenapa lo gak mencoba untuk memperjuangkan apa yang lo inginkan? Kenapa malah pasrah?"

Pertanyaan cewek di depannya itu seketika membuat Antariksa tersenyum sambil mengaduk-aduk lemon tea di depannya menggunakan sedotan.

"Karena gue gak punya sesuatu yang bisa gue berikan sebagai jaminan bahwa nanti setelah masuk seni rupa murni gue akan berhasil. Gue gak punya sesuatu yang bisa gue banggakan, gue gak punya sesuatu yang dapat meyakinkan mereka bahwa nanti, mungkin saja gue akan sukses dengan pilihann yang gue buat. Dan karena gue gak punya hal itu gue cuma bisa pasrah."

Jagat AntariksaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz