Part 3 : Friendship

1.1K 246 242
                                    

Rafaella POV

Gian memang satu-satunya sahabat gue, kemana-mana gue pasti bareng dia. Banyak juga yang gosipin gue pacaran sama Gian. Tapi pernah gak sih lo sahabatan deket sama cowok gitu terus mikirin cinta-cintaan sama dia? Gue gak bisa, bagi gue Gian udah kayak kakak, atau bokap gue gitu. Tapi kadang gue juga sih yang ngurusin dia bak nyokapnya sendiri.

Beda sama gue, Gian terlahir dari keluarga kaya, dia gak pernah kehilangan kasih sayang dari kedua orangtuanya, karena bisa dibilang dia merupakan satu-satunya penerus bisnis keluarga.

Kadang gue dibilang nempel sama dia karena duitnya dia, padahal yah mau gimana lagi, temen gue cuma dia seorang.

Gue gak pernah ngelihat dia semarah ini sebelumnya, gue sedih dan takut. Gara-gara gue, Gian berurusan sama dosen, bisa-bisa dia di DO kan ya.

Gak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya setelah tinju Gian mendarat di pipi mulus sir Gabriel.

Saat itu juga sir menariknya keluar dan meninggalkan gue beserta sekertarisnya. Untung aja saat itu kampus sudah mulai sepi.

Dengan langkah berat gue berusaha mencari dimana sir Gabriel dan Gian berada.

Tiba-tiba gue teringat kejadian malam itu, gue masih benci sama laki-laki itu. Gue gak tahu lagi kalau suatu saat gue bisa menikah apa nggak. Takut, kalau-kalau gak ada cowok yang bakal nerima gue yang udah gak perawan lagi.

Langkah gue terhenti oleh tiga cewek berpakaian tak pantas untuk kelas anak kuliahan, maksud gue pakaian mereka tuh terlalu seksi buat dipake ke kampus. Siapa lagi kalau bukan Bella sama kacung-kacungnya.

Selain sir Gabriel, orang yang paling gue benci dan yang harus gue salahin atas musibah yang menimpa gue adalah mereka bertiga. Tapi guenya juga sih yang tolol karena bisa-bisanya diperdaya mereka.

"Lo aman kan Raf? Waktu itu lo pulangnya gimana? Tiba-tiba aja lo ngilang," ucap Clau dengan nada sok polos tanpa dosa.

"Aman kok gue, lo liat kan gue masih idup dan masih bisa ngampus," jawab gue ketus.

"Maaf ya Raf, gue gak tahu kalo lo gak pengalaman pergi ke tempat begituan." Bella memainkan rambut panjangnya dengan jari.

Dasar pelacur.

Gara-gara lo bertiga gue bisa ternodai gini.

"Iya, iya terserah lo."

Gue menahan amarah gue sebisa mungkin dan berlalu dari hadapan mereka bertiga. Ibaratnya nasi udah menjadi bubur, yaa dimakan aja buburnya. Perumpamaan macam apa sih yang gue pikirin.

"Rafaella?"

Tiba-tiba langkah gue terhenti untuk kedua kalinya.

"Bisa bicara sebentar?" ucap pria itu yang adalah sir Michael.

Mau gak mau gue mengangguk dan mengikuti langkahnya menuju ruangannya.

Setelah gue dipersilahkan duduk, gue disuguhin air minum dan setoples kue kering, kayak silaturahmi aja.

Ia duduk berhadapan dengan gue. Saat itu ruangannya tidak ada siapa-siapa selain gue dan dia, sir Michael memang nggak punya sekertaris pribadi seperti direktur prodi, makanya ruangan itu lumayan kecil dan memang hanya ditujukan untuknya.

Sir Michael berdeham. "Kamu ada masalah sama Pembimbing Satu?" tanyanya membuatku menerawang apa maksud pertanyaannya.

"Maksud saya, jika kamu ingin mengganti Pembimbing Satu, saya bisa bantu."

Mungkin otak gue mulai strekel, apa sih yang dimaksud dosen ganteng satu ini?

"Pembimbing satu siapa?" tanya gue dengan kepolosan tiada tara.

Sir Michael menepuk jidatnya sambil tertawa geli. "Gabriel Farlent Wijaya, pembimbing satu kamu."

Tiba-tiba seperti ada sebuah batu besar menghantam kepala gue.

Gue hanya diam gak tahu harus menjawab apa.

"Saya nggak ingin membahas masalah kamu sama dia. Tapi yang pasti kalau ada yang bisa saya bantu bilang saja."

Kok gue yang jadi gak enak ya? Seandainya semua dosen bisa kayak sir Michael, mungkin hidup ini bisa jadi lebih mudah kali ya.

"Sir tahu masalah saya sama sir Gabriel?"

Ia menunjukan tatapan ibah, "Kurang lebih seperti itu."

Njir malu banget lah gue, mau dikemanain muka gue.

Akhirnya setelah menarik napas dalam-dalam, gue memberanikan diri mengangkat wajah gue menatap Sir Michael. "Terima kasih banyak atas perhatiannya Sir, tapi sebisa mungkin saya harus menghadapi masalah saya sendiri."

Ia tersenyum tulus mengakhiri pembicaraan.

***

"Maaf Gi, udah bikin lo khawatir," ucap gue setelah mendapati Gian tengah duduk bodoh di atap kampus fakultas Ekonomi.

Gian menggeleng. "Gue yang salah, kalau saja gue ada disaat itu, lo pasti.." ia tidak melanjutkan kalimatnya.

"Nggak apa-apa, toh sekarang gue masih idup kan."

"Mau gue laporin aja dia ke polisi, Raf?" tanyanya membuat gue terbelalak kaget.

"Jangan lah, nanti orangtua gue tahu. Gue gak mau tambah masalah ke mereka. Lu tahu kan prinsip hidup gue adalah bahagiain mereka. Gue gak mau bikin mereka khawatir."

Gian ngerangkul gue.

"Makasih Gi, karena selalu ada buat gue."

"Traktir gue es krim," pintanya sambil menyandarkan kepalanya ke bahu gue.

"Gak punya duit Gi."

Gian berdiri dari duduknya kemudian mengulurkan tanganya ke gue. "Ya udah, gue yang traktir."

"Eh betewe, lu apain Sir Gabriel tadi?" tanya gue sambil menyambut uluran tangannya.

"Gue mukulin dia sampe babakbelur lah, apa lagi?"

Gue hanya tertawa mendengar jawaban Gian. "Terserah lu deh. Semoga skripsi gue gak bakal kena imbasnya."


TBC.

Beautiful MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang