Part 21 : Sweets

539 36 6
                                    

Rafaella POV

Pernah gak lo ngalamin pengalaman konsultasi skripsi di atas tempat tidur? Gila kedengaran vulgar banget gak sih.

Romantis, harusnya. Jadi ceritanya gue sama si dosen suami abis, ehem ... ciuman weh. Jujur ini gue pertama kalinya, eh gimana ceritanya udah pernah mantab-mantab tapi belum pernah ciuman. Enggak ... enggak, ini ceritanya beda. Gue secara sadar kali ini, lah yang waktu itu kan gue gak inget gegara teler setengah mati.

Jujur aja gue gak menyangka kalau ciuman bisa semenyenangkan itu. Lembut, dan serius jantung gue kayak mau meledak anjir, serasa mau loncat dari rongga dada.

Asli, gue yakin banget ni muka udah merah macam lobster mentega. Lagian kenapa bisa sehangat itu sih? cara El meluk gue, cara El membelai rambut gue yang nutupin muka. Gak nyangka aja ternyata dia bisa se-gentle itu.

Lampu ruangan tengah yang sejak awal emang udah remang-remang, tiba-tiba menyala. Gue kaget setengah mati mendapati Mbak Sumi dengan rambut ikalnya yang terurai kini sementara berdiri di samping saklar lampu mengenakan pakaian tidurnya yang berwarna putih. 

El pun terlonjak kaget sama halnya dengan gue. Siapa yang gak bakal kaget, kami yang tahunya Mbak Sumi masih di kampung kini sudah ada di rumah dengan setelan mbak kuntinya. Kalo aja gue bukan penggemar film horor udah pasti gue teriak gak karu-karuan.

"Ehem, selamat malam pak, maaf saya sudah balik dari tadi sore tapi ternyata rumah lagi kosong jadi saya masuk saja dan berberes rumah," jelas Mbak Sumi dengan nada gak berdosanya.

Kira-kira Mbak Sumi lihat gak sih? Anjir malu banget gue sumpah.

Bahkan sebelum El menjawab penjelasan Mbak Sumi, gue udah terlanjur ambil langkah seribu menuju kamar.

Malu woy.

Itu lah pada akhirnya, untuk menghindari kecanggungan antara gue dan El, jadinya gue malah konsultasi skripsi di kamar. Mumpung seranjang sama si dospem ya kan. Gak boleh disia-siakan ini.

Tapi, sepertinya gue sama sekali gak bisa konsen gegara otak gue nge-freeze keinget momen tadi.

"Raf ..." ucap El  menyadarkan gue. "Are you listening?"

Gue menggeleng cepat berusaha mengembalikan kesadaran sepenuhnya sambil berkata, "Maaf ... maaf."

El tersenyum jahil. 

Ohh ouu...

"Lagi inget yang tadi ya?" 

Tuh kan bener, diledekin juga gue. Lah mau gimana lagi dong. Momen itu bener-bener gak bisa gue ilangin begitu aja dari dalam otak gue yang pada dasarnya punya memori gak seberapa.

"Enggak ih. Udah ah, aku mau tidur aja," jawab gue dengan nada yang dibuat-buat kesal.

El menahan pergelangan tangan gue masih dengan senyum jahilnya yang menyebalkan. "Ada yang ngambek nih. Ya udah, ngambek aja sana."

"Ihhhh." Gue memelas protes. Ah kok jadi ngambek beneran sih guenya.

El menatap gue intens. Ia memiringkan kepalanya kemudian tersenyum. Jari-jarinya yang besar bermain di wajah gue seperti mengatur beberapa helai rambut gue ke belakang telinga. Bola matanya berpaling dari mata gue ke arah bibir. Pria yang memiliki lesung pipi itu kemudian mengecup lembut bibir gue. 

"Bercanda. Tidur yuk," Kata El lembut kemudian membawa gue tidur dalam pelukannya. 

Sial.

Gue akhirnya mengakui bahwa gue udah jatuh cinta dengan laki-laki ini.

***
Udah berkali-kali gue menghembuskan napas berat, gue paling benci dengan yang namanya menunggu. Ya, gue rasa semua orang gak suka menunggu.

Gue udah berjam-jam nungguin El di ruangannya untuk pulang. Gue udah capek dan butuh manisan. Lebih tepatnya otak gue yang capek gegara kelamaan nongkrong di perpustakaan nyari jurnal pendukung. 

Sebenernya dari tadi gue disuruh si dospem buat ngelanjutin skripsi di ruangannya tapi gue ngantuk dan pengen makan manisan seperti permen kapas warna biru. Lah beli di mana tuh kira-kira?

"Masih lama?" tanya gue memainkan ransel gue yang berisi laptop.

El mungkin udah bosan dengan pertanyaan yang gue lontarkan tiap dua puluh menit itu. Ia hanya menatap gue sekilas kemudian beralih ke layar monitornya. Alisnya berkerut menampakkan bahwa dia sedang serius berpikir. Gue suka ngelihat El kayak gitu, macam seksi aja sih, tapi gue udah bosan kelamaan nunggu.

"Aku boleh pulang sama Gian aja?" tanya gue mulai frustasi.

"Boleh," jawabnya singkat.

Gue tercengang. El yang biasanya posesif minta ampun kok bisa ngizinin gue pulang bareng Gian.

"Masa sih boleh? Beneran boleh nih? Biasanya juga gak boleh." Gue masih gak percaya atas keajaiban ini.

El menatap gue dengan tatapan seriusnya. "Udah tahu gak boleh. Kenapa masih nanya?"

Oh hahaa. Ternyata masih El yang gue kenal. Tapi entah mengapa gue mulai menikmati kecemburuan El. Dia ... gimana ya bilangnya. Menggemaskan. 

"Kenapa senyum-senyum?" El menyipitkan matanya ketika lihat gue udah masam-masam gak jelas saking gemesnya.

Gue menggeleng sambil masih tersenyum geli.

"Niat banget pengen pulan bareng Gian ya?"

Gue menepuk jidat gue yang gak berdosa. "Enggak ya ampun. Lagian lama banget sih. Aku udah laper."

"Kenapa gak bilang dari tadi?" El langsung mematikan layar komputernya kemudian menarik tangan gue keluar dari ruangan.

Ya elah, perasaan udah dari tadi deh gue ngemeng kapan selesainya.

Sebenarnya perut gue keroncongan buat makan manisan bukan makan nasi. Gue bener-bener gak selera buat makan makanan berat kali ini, walaupun gue sebenernya belum makan siang.

Tapi gegara dipaksa si bapak dosen akhirnya gue pun mau makan nasi dengan satu syarat, yaitu dibeliin seember es krim untuk nyetok di rumah. Ingat kan, es krim itu udah sama dengan makanan pokok harian gue. Tanpa ada es krim, hidup serasa hampa.

"El," sebuah suara lembut melantun dari belakang.

Oh my God.

Mamanya William?

Serius demi apa?

Ini dia bangkit dari kematian atau bagaimana sih?

"Alice?" ucap El seperti membeku ditempat. 

Kan, El saja sampai kaget begitu. Siapa yang gak kaget kalau lihat zombie secantik ini.

Eh, emangnya mamanya William namanya Alice? Bukannya Anna ya?

Bingung gue anjir.

"Hai," ucap si bule zombie itu dengan canggung.

"Hai." Akhirnya gue yang bales sapaannya gegara si El cuma diem aja dari tadi. Ya kan kasihan dianya udah nyapa tapi gak ada yang bales.

"El's wife?" tanya si mbak zombie ke gue.

Anjir lah, bisa gak sih pake bahasa Indo aja.

Gue yang masih gak ngerti dengan situasi ini hanya bisa mengangguk-angguk blo'on.

"Yuk balik." El menarik tangan gue kasar meninggalkan restoran tempat kami makan siang. 

Ini kenapa sih? Gue yang bingung.

Gue yang ditarik-tarik El menoleh ke belakang menatap si mbak zombie yang sepertinya kecewa melihat kami pergi begitu saja.

Eh, tunggu dulu. Bukannya dia itu si perempuan yang sempat gue lihat makan bareng El di mall?


TBC

Beautiful MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang