Bab 7

248 112 35
                                    

Kemarin tentunya aku pulang bersama Kak Daniel. Aku menerima tawarannya untuk pulang bersama. Ntah itu bisa dibilang bantuan atau hubungan timbal balik, karena sebagai imbalan dari tawaran itu aku harus membiayai isi angin ban sepedanya yang kempes. Ya daripada aku harus berjalan ke depan gang sekolah untuk mendapatkan angkutan umum, lebih baik aku merima tawaran Kak Daniel untuk pulang bersama.

"Faraaa, gue sebel banget sama Kak Daniel," kataku pada Fara yang baru saja tiba di kelas pagi itu.

"Kenapa lagi dia?"

Fara menanggapi ceritaku sembari menyiapkan buku dan alat tulis untuk pelajaran pertama hari itu. Aku pun bercerita tentang kejadian kemarin. Sesekali Fara tertawa mendengar ceritaku.

"Tapi gue liat-liat kayaknya Kak Daniel orang yang baik deh Al," ucap Fara ketika aku mengakhiri ceritaku.

"Sok tahu"

"Biasanya kalau di novel-novel cowok kayak gitu baik loh Al."

"Lo pikir ini dunia novel?"

"Ya, kan novel itu terkadang terinspirasi dari kisah nyata."

"Gak semuanya tuh."

"Ya, kan tadi gue bilang terkadang. Terkadang," Fara menekankan pada akhir perkataannya.

"Kalau lagi eror kayak gini nih. Gue cerita ngelanturnya kemana-mana," Aku membalas perkataan Fara dengan malas.

"Terserah lo deh. Tapi, gue tebak sih lo bakal jadian sama Kak Daniel."

"Kerjaan sampingan lo peramal ya? Atau dukun?"

"Sembarangan lo. Awas aja ya kalau lo beneran suka sama dia. Lo harus teraktir gue di Warteg Yasmin."

Aku mengerlingkan mata jengah. Tak lagi membalas perkataannya. Kalau aku menanggapi Fara yang sedang eror ini bisa-bisa pembicaraan kami tak akan berujung dan dipenuhi oleh berbagai topik. Lagian saat itu aku berpikir tak mungkin aku menyukainya. Membayangkannya saja tak ada gambaran. Namun memang masa depan itu penuh misteri. Kita tak akan tahu apa yang terjadi pada detik, menit, jam, ataupun keesokan harinya.

***

Kriing... Kriing...

"Nata, teman kamu ada yang telpon."

Tidur nyenyakku pada Sabtu pagi itu terganggu oleh teriakan Mama. Rasanya malas sekali untuk bangun. Kekesalan pun tengah muncul dalam diriku pagi itu. Siapa pula pagi-pagi seperti ini menelpon.

"Bilang aku masih tidur, Ma. Pagi-pagi kok mengganggu ketenangan Nata sih," teriakku dari atas tempat tidur.

"Sudah jam tujuh Nata. Bangun!"

Aku berdecak kesal, kalau sudah seperti ini aku harus bangun atau teriakan Mama akan menggema di seluruh ruangan pada detik-detik selanjutnya. Aku beranjak dari kasurku. Berjalan gontai menuju ruang tamu dimana telpon rumahku berada.

'Awas saja kalau tak penting. Siapapun orangnya akan aku semprot,' batinku saat itu.

Aku meraih gagang telpon dengan kasar begitu sampai di ruang tamu.

"Halo!" ucapku dengan nada ketus mengawali pembicaraan.

"Wah si Nem kebo banget pagi-pagi." jawab suara di seberang.

"Galiiihh...." aku berteriak kesal begitu mengetahui Galihlah yang menelponku.

"Hahahahaha gue bosan banget di rumah."

"Terus?"

"Ya gue mencari aktivitas biar gak bosen."

"Dengan gangguin gue? Lagian lo dapat dari mana sih nomor telpon rumah gue?"

Aku, Dia, dan Masa LaluDove le storie prendono vita. Scoprilo ora