Kedatangan

18 0 0
                                    

Sepulang dari Kota bersemboyan mulat sarira angrasa wani itu, Mas Dion memintaku untuk kembali menjemputnya di stasiun yang sama seperti kemarin, semasih aku menyelesaikan pekerjaan di kantor buru-buru merapikan meja dan berjalan menuju mobil saat langit sedang panas-panasnya.

Aku yang baru saja hendak meraih smartphone karena telah sampai, sudah lebih dulu disambut oleh senyumannya dari jauh. Dengan hoodie warna biru muda, ia langsung saja mengambil alih kemudi, dibawa aku menuju salah satu dataran tertinggi di Jogja.

"Udah pernah kesini, Dek?"

"Belum, Mas"

"Kamu nggak suka jalan-jalan ya?"

"Suka, Mas. Hanya saja waktuku seringkali habis dengan pekerjaan jawatan"

Mas Dion memperhatikan kerutan di dahiku seakan tengah membaca kegelisahan yang ada didalam kepalaku

"Kenapa Dek?"

"Nggak ada apa-apa, Mas"

Dengan senyumannya yang ragu, aku tau bahwa ia tak benar-benar mempercayaiku, maka aku mengangguk meyakinkan. Ia memesan barang satu atau dua porsi makanan ringan. Aku mengiyakan segala pertanyaan.

"Bagaimana kelanjutan studimu, Rin?"

"Masih sama, Mas."

"Boleh aku tau, apa yang kaukerjakan siang tadi?"

"Seperti biasanya, datang ke kantor, menyelesaikan pekerjaan, lalu pergi sebelum jam pulang karyawan"

"Masih sering siaran?"

"Masih, Mas. Aku masih mengisi dua episode untuk berita hari ini"

Mas Dion terdiam sebentar, aku yang mulai lelah dengan pertanyaan seputar pekerjaan, membuka percakapan,

"Mas pernah coba love nudge?"

"Belum, untuk apa?"

"Untuk dapat saling memahami, bahwa bahasa cinta setiap manusia berbeda"

"Termasuk jika aku ingin mengerti bahasa cintaku sendiri?"

"Sepertinya begitu, Mas"

"Apa menurutmu juga tiada kesamaan diantara tiap manusia?"

"Aku tak pernah sekalipun percaya tentang kesamaan, yang seringkali justru menjadi awal dari rasa mengapa ia berubah? Padahal, bukan ia yang berbeda, tapi kita yang menaruh harapan terlalu besar, sedang tiada manusia yang sempurna"

"Lalu Rin, bagaimana jika yang semestinya untukmu itu benar-benar tak dapat menjadikan harapan besarmu jadi kenyataan?"

Aku terdiam dengan segala kekacauan pikiranku sendiri, sambil berkata dalam hati,

'Jika memahami wanita adalah bukan karena sebuah motif lain, betapa bahagia itu sederhana'

"Rin, yang kau pegang erat-erat akan melepaskanmu tiba-tiba, kapan saja. Yang kamu biarin terbang bebas, akan datang menghinggapimu tanpa kau minta."

Susu coklat dingin kesukaanku datang dengan beberapa piring makanan, juga segelas kopi panas. Aku membuka smartphone yang sedari tadi mati,

"Jadi ini, love nudge?" Ucapnya sewaktu mengamati gerak jariku yang terus beradu dengan layar terang

"Iya" Kataku sambil mengarahkan wajah dan smartphoneku kearah Mas Dion, "Mau coba?" Lanjutku

"Boleh?"

Aku mengangguk semangat seperti anak kecil yang akan segera dibelikan permen kesukaannya.

Dihadapan kami, matahari diam-diam menenggelamkan dirinya ditengah laut yang maha luas. Langit terdiam kehilangan sinarnya, dengan pecahnya tawa, dengan segala bahasa, aku akhirnya tau bagaimana Mas Dion membutuhkan banyak waktu untuk dihabiskan bersama. Pun aku bersemoga, agar ia mengerti apa arti dari segala dialog kami senja ini, saat aku memberinya kesempatan untuk memahami diriku lebih jauh lagi, Ariana menginginkanmu, dengan segala pengindahan yang kau berikan; Ariana menyukai kejutan lebih dari sekedar ia mengidolakan banyak sastrawan; pun kini Ariana mengerti, bahwa hal yang paling menyenangkan adalah bagaimana ia tak bisa berhenti tersenyum saat memandang keindahan yang ada dihadapannya sekarang: Dion.

Lib - BRACHIUMWhere stories live. Discover now