Chapter Five: Trouble's True Colour

Start from the beginning
                                    

Tangan Charlotte mati rasa dan hidungnya mulai mampet. Sepertinya kali ini, mau tidak mau ia harus menuruti saran Dave. Gadis itu mengangguk lemah saat Dave menatapnya, memastikan kalau ia setuju untuk pulang saat itu juga. Anggukan Charlotte segera ditanggapi Dave, pria itu tampak sibuk dengan ponselnya. Ia terlihat sedang berbicara dengan orang-yang mungkin petugas hotel- melalui benda elektronik berbentuk kotak pipih itu.

Charlotte dan Dave berdiri agak jauh. Keduanya terlihat tidak tertarik terlibat dalam percakapan apapun. Seakan tenggelam dalam pikiran masing-masing, Charlotte mulai merasakan gelombang kemarahan yang menjengkelkan di dalam kepalanya. Ia menarik nafas keras-keras. "Berapa lama kita harus menunggu?....,aku sudah tidak tahan lagi," katanya dengan suara serak.

Dave menoleh. Charlotte kira pria itu akan melihatnya dengan – semacam- tatapan bosan, tapi tidak begitu. Agaknya pria itu sedikit terlihat khawatir dengan Charlotte yang suaranya semakin serak seperti orang yang sedang flu, atau akan terkena flu. "Kau mau kuhangatkan?" goda Dave. Pria itu mengembangkan tangannya seperti jaring ikan, dan Charlotte yang jadi ikannya.

Charlotte tertawa singkuh, "Aku lebih memilih beku seperti ini daripada harus dipeluk olehmu, Dave," katanya. Charlotte terdengar capek, seperti sudah mengulang-ulang percakapan semacam ini dengan Dave; menolak godaan-godaan yang kerap dilontarkan pria itu padanya di beberapa kesempatan. Charlotte tahu, Dave melakukan itu hanya untuk mencairkan ketegangan di antara mereka yang belum usai dari pertama kali mereka bertemu hingga sekarang sudah menjadi rekan kerja yang setiap hari akan saling bertatap muka satu sama lain.

"Mobilnya datang."

Charlotte mengikuti arah pandang Dave. Mobil yang menjemput mereka sudah datang. Dari kaca depan, samar-samar Charlotte bisa melihat supir yang mengendarainya adalah orang yang mengantar mereka berdua ke pertemuan bisnis tadi. Nah, dia jadi teringat akan Kurt. Besok, dia harus menghadapi orang yang mungkin genitnya melebihi Dave. Memikirkannya saja membuat kepala Charlotte sakit.

Mobil itu berhenti di depan mereka. Charlotte dan Dave masuk satu persatu di awali dengan Charlotte. Saat Dave masuk ke dalam mobil dan sedikit bergeser kepada Charlotte, lengannya tidak sengaja menyenggol bahu Charlotte. Gadis itu tersentak kaget merasakan dingin dari kemeja Dave yang sedikit basah karena salju merembes ke bajunya. Pikiran mengenai Dave yang sengaja membiarkan Charlotte memakai jasnya dan tetap bersikap santai meskipun ia sendiri kedinginan, berputar-putar di dalam kepalanya. Bertambah satu alasan, kenapa ia harus cepat-cepat berdamai dengan pemuda itu.

"Aku akan membangunkanmu begitu kita sampai di hotel nanti, Charlotte." Dave bersuara lembut. "Siapa tahu kau merasa ingin tidur sekarang..."

Sambil menggelengkan kepala dengan mati rasa, Charlotte hanya berbisik. "Aku tidak..."

"Aku tahu." Dave memotong. "Jangan coba-coba berbohong. Aku tidak akan membiarkanmu sakit, karena itu berarti perusahaan akan membayar biaya ekstra untuk perjalanan kita." Dave nyengir.

Charlotte membiarkan pemuda itu berkata sesukanya kali ini. Setelah berniat berbohong kalau ia tidak ngantuk, dia jadi benar-benar ngantuk. Jadi, ia memejamkan matanya, kepalanya bersandar ke kanan ke jendela. Diam-diam Dave mencuri pandang ke arah Charlotte, ia seperti ingin berkata sesuatu tapi terlalu ragu-ragu, dan ia pun berakhir diam. Keadaan tetap sunyi senyap sampai mereka berdua sampai di hotel.

***

Charlotte merasakan tubuhnya seperti ringan dan terangkat ke atas. Ia membuka matanya, bayang-bayang wajah Dave tampak bawah mulai samar-samar terlihat. Bau karpet hotel bercampur parfum yang menguar dari tubuh Dave, tercium terlalu menusuk bagi hidung Charlotte dan itu membuatnya bersin.

"Kau ingin aku menurunkanmu, atau bagaimana?" Dave bertanya dengan tatapan mengintimidasi yang dibuat-buat. Sepertinya, laki-laki itu hanya malu karena Charlotte terbangun di situasi seperti ini; Dave tengah menggendongnya, dan ia sudah setengah jalan untuk sampai di kamar Charlotte.

Mr. TroubleWhere stories live. Discover now