Chapter Two: Mr. Troublemaker

239K 6K 46
                                    

Setelah 3 tahun bekerja, baru kali ini Charlotte tampil tidak sesempurna biasanya. Bukan karena pakaiannya yang tidak sesuai atau riasannya yang tidak pas. Ini lebih mengacu pada wajahnya yang tidak terlihat bersemangat seperti biasanya. Kantung matanya terlihat lebih besar dari semula dan ada garis hitam di garis mata bawahnya. Bahkan, ia sudah cukup banyak menguap sejak pagi tadi.

"Apa yang terjadi, Sayang?" tanya Gina. Gadis keturunan meksiko dengan kulit yang sedikit lebih coklat dari Charlotte ini adalah sahabat baiknya semenjak Charlotte diterima bekerja di sini. Gadis yang iris coklat matanya tidak kalah terang dari Charlotte itu kemudian masuk ke dalam bilik kerja Charlotte, dan mendaratkan pantatnya yang bulat sempurna bak pantat aktris Hollywood Jennifer Lopez di atas meja kerja Charlotte.

"Na-ah.." Charlotte hanya menjawab pertanyaan Gina dengan lenguhan kecil. Ia merenggangkan tubuhnya ke belakang hingga sandaran kursinya melengkung ke belakang mengikuti arah punggungnya. Rambut coklat kepirang-pirangannya terjuntai bebas ke belakang sandaran kepalanya.

"Kemana cepolan mikrofonmu?" tanya Gina dengan nada mengejek penuh rasa penasaran. Selama ini Charlotte tidak pernah menanggalkan gaya ke kantornya yang khas saat bekerja; rambutnya selalu diikat cepol bulat sempurna. Gina sering menjuluki gaya rambutnya itu dengan sebutan cepolan mikrofon karena mengingatkannya pada mikrofon tempat karaoke.

"Aku tidak sempat mencepol rambutku."

"Apa? Jangan katakan kau bangun kesiangan karena aku tidak akan percaya!"

Charlotte memainkan ujung rambutnya, "Jangankan bangun kesiangan. Tidur pun tidak."

"Why? You had a nightmare last night?"

"Ini lebih dari sekadar mimpi buruk, Sayang.." dengus Charlotte. Tidak mungkin, kan, ia menceritakan adegan yang ia lihat semalam pada Gina sampai-sampai ia susah tidur?

Tiba-tiba suasana kantor mendadak riuh. Pandangan Gina yang sedang duduk di atas meja kerja Charlotte segera berkeliaran bebas ke segala penjuru ruangan mencari sumber keriuhan. Pandangannya berhenti di satu titik dimana orang-orang sedang berkerumun. Beberapa dari mereka terlihat sedang saling bergantian menyalami seseorang yang tampaknya sangat disegani, bahkan para senior di kantor yang selalu menganggap diri mereka sebagai dewa yang harus diutamakan tidak sungkan-sungkan membungkukkan badan mereka memberi hormat. Gina memicingkan matanya agar dapat melihat orang yang tampak hebat itu lebih jelas. Tapi jumlah orang yang berdiri mengerumuninya terlalu banyak menghalangi pandangan Gina.

Di saat Gina mulai menyerah, seorang pria dengan setelan jas hitam berkelas menerobos keluar dari kerumunan. Ia mengenakan dasi dengan warna abu-abu muda bermotif garis merah tebal di pertengahan dasi. Pria itu jelas tahu bagaimana caranya memanfaatkan postur tubuh tinggi tegapnya itu dengan sempurna. Penampilannya semakin gagah dengan mengenakan dasi berwarna abu-abu muda bermotif garis merah tebal di pertengahan dasi. Potongan rambutnya tidak terlalu cepak, sangat cocok dengan rahang wajahnya yang tegas. Beberapa wanita benar-benar terjerat pesonanya, mereka bahkan menatap pria itu dengan pandangan 'ingin segera melucuti pakaiannya satu-persatu'.

"Ya, Tuhan...Demi apapun...he's so hot!" cetus Gina tanpa sadar.

Charlotte serta merta berdiri karena tidak kuat menahan rasa penasaran terlalu lama. Ia pun bertatap mata langsung dengan pria yang tengah jadi pusat perhatian di situ. Pria itu tidak asing baginya. Dave?! Alangkah kagetnya ia mendapati kehadiran pria itu. Charlotte sontak duduk kembali, setelah aksi tatap mata yang tidak lama-setelah pria itu mengedipkan sebelah matanya pada Charlotte-itu. Tiba-tiba saja Charlotte merasa kesal sendiri. Bibirnya mengatup rapat menahan emosi yang mulai mendidih di kepalanya. Tuhan, jangan katakan kalau dia satu divisi denganku..

Mr. TroubleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang