BAB XI

17.8K 883 27
                                    

KEJUTAN

Pagi ini aku sarapan dengan rasa paling hambar sedunia. Bukan karena apa-apa, hanya saja lidahku menjadi mati rasa setelah mencicipi kuah bubur kacang hijau super panas yang ku buat untuk Erlangga subuh tadi.

Pagi-pagi sekali saat jam besar di ruang tamu berhenti berdentang sebanyak empat kali, aku mendapat telepon dari ibu mertuaku. Telepon pertama dari mertua yang baru kutemui kemarin saat pernikahan. Tentu saja ini membuatku gugup dan luar biasa mulas hingga membuatku terjaga sepenuhnya.

Ibu bilang, Erlangga biasa dibuatkan bubur kacang hijau tepat saat pagi hari ulang tahunnya, untuk sarapan. Aku cukup bernafas lega karena hanya bubur kacang hijau, bukan nasi tumpeng atau nasi kuning seperti kebanyakan orang jawa. Oh, sudah kah ku bilang kalau ternyata suamiku adalah seorang keturunan darah biru dari Jawa? Oke, sekedar informasi yang perlu ku bagikan kepada kalian. Simpan itu baik-baik!

Aku pernah beberapa kali membuat bubur kacang hijau saat KKN dulu, membantu memberikan gizi tambahan untuk para balita di posyandu desa tempatku bernaung selama program pengabdian masyarakat yang dicanangkan kampusku itu berlangsung. Aku mendapat respon yang cukup bagus untuk hasil masakanku itu, jadi bukan masalah besar ketika aku harus membuatnya pagi ini untuk Erlangga.

"Loh, Kak Luna bikin bubur kacang ijo? Tumben banget," komentar Dini saat melihat mangkuk berisi bubur kacang hijau yang masih mengepul di hadapan Erlangga.

"Kamu mau, Din?" tawar Erlangga mendahuluiku. Wajahnya tampak berbinar saat aku menyuguhkan bubur kehadapannya tadi. Dan kalian harus percaya bahwa binar itu belum hilang sampai sekarang. Aku sedang menebak-nebak isi kepalanya sekarang. Kenapa dia bahagia sekali hanya karena semangkuk bubur kacang hijau?

Dini terlihat nyengir lebar lalu buru-buru menggeleng.

"Enggak usah, Mas. Makasih banget. Dini sarapan nasi goreng aja, suka laper lagi kalau cuma makan bubur," tolaknya dengan kekehan khas Dini.

Aku diam saja melihat interaksi dua orang di hadapanku ini. Aku masih mengunyah nasi gorengku lambat-lambat. Rasanya benar-benar tidak enak saat lidah terasa kasar dan mati rasa seperti ini. Sepertinya aku harus segera mencari vitamin C secepatnya.

Aku mendorong piring makanku yang masih menyisakan isinya separuh dan minum air putih dingin seteguk. Beranjak dari kursi tanpa mengatakan sesuatu sambil menenteng gelas minumku ke arah dapur.

"Loh, kamu mau kemana sayang? Makannya dihabisin dulu!" tegur Mama seperti biasa. Aku memang malas jika harus sarapan sepagi ini. Tapi aku tidak mungkin menelantarkan Erlangga, membiarkannya pergi ke meja makan untuk sarapan perdananya bersama keluargaku sendirian.

"Bentar Ma, mau nyari sesuatu di dapur," ujarku sambil nyengir kemudian berlalu begitu saja.

Aku sedang mencari-cari keberadaan vitamin C yang biasanya diletakan di salah satu laci dapur, saat aku melihat sekelebat bayangan masuk ke dapur. Menoleh, ku temukan Erlangga tengah berdiri di belakangku dengan kening berkerut.

"Kamu nyari apa, Luv?" tanyanya dengan suara lembut.

Setelah percakapan semalam, aku belum berani berbicara lagi dengannya. Aku tidak menanggapi perkataanya yang memintaku menjadi ibu dari anak-anaknya semalam. Bukan kenapa-kenapa, tapi bukankah itu salah satu tujuan hidup yang harus kucapai saat menjadi seorang istri? Terlebih lagi, aku merasa malu dan tidak enak hati saat pembicaraanya sudah menjurus ke ranah—kalian tahukan maksud perkataanku? Ku harap iya, karena aku tidak sanggup mengatakannya.

"Eung?" tanggapku seperti orang linglung. Aku mudah kehilangan fokusku jika sudah berdua saja dengannya. Dia seperti monster yang mengerihkan yang dapat membangunkan sisi lain diriku yang tak pernah ku tunjukkan pada lelaki manapun. Eum, biar ku perjelas. Kadang aku merasa diriku terlalu manja padanya. Mengingat beberapa kejadian belakangan ini.

INFINITY FATEWhere stories live. Discover now