6

149K 13.9K 242
                                    

KEYFA

Logikaku mungkin tersangkut pohon toge saat menyetujui usulan Wisnu untuk nikah kontrak setelah satu bulan kami berdua saling mengenal. Aku sudah memperkenalkan dia pada keluargaku, Mama awalnya curiga. Namun karena sikap yang aku dan Wisnu tunjukkab betul-betul seperti dua sejoli yang sedang dimabuk cinta, Mama pun percaya.

Wisnu juga sudah memperkenalkanku pada keluarganya. Keluarganya seru, kocak, namun tatapan sinis ibunya tampak jelas saat menilai penampilanku setiap kali bertemu. Aku selalu absen memakai dress yang selalu Wisnu belikan, aku lebih nyaman memakai kaus polos yang dibalut dengan kemeja, dan tidak lupa celana jins yang memang kurang cocok untuk dipakai ke acara pertemuan keluarga.

Di pertengahan malam, kadang aku mikir cuma karena bosan disuruh nikah aku sampai melakukan hal gila seperti itu. Tapi apa yang aku lakukan nyatanya tetap tidak sinkron dengan logika. Aku sudah ada di tahap ini——Wisnu sudah melamarku secara resmi, dan kita akan segera menikah dalam dua Minggu ke depan. Wow, secepat itu waktu berputar. Tepatnya di pertengahan bulan Desember.

Kami menggunakan perjanjian tertulis dalam pernikaha yang harus disepakati oleh kedua belah pihak.

1. Tidur pisah kamar.
2. Dilarang adanya kontak fisik.
3. Boleh memiliki pacar asalkan tidak ketahuan keluarga.
4. Romantis di depan orang tua.
5. Tidak saling mengganggu kehidupan pribadi.

Kontrak ini berlaku selama satu tahun, jika pada pelaksanaannya terjadi sesuatu hal yang di luar kendali kontrak bisa diperpanjang ataupun dibatalkan.

Sebuah kontrak yang Wisnu berikan tanpa berdiskusi denganku, dan seenak jidat dia memintaku langsung menandatanganinya tanpa mendengarkan pendapatku terlebih dulu apakah aku menyetujui poin-poin yang tertera pada surat kontrak itu ataukah tidak.

"Nomor tiga gue nggak setuju," sanggahku. Kalau nomor tiga harus ada, itu artinya posisiku terpojok. Sementara itu adalah sebuah keuntungan bagi playboy yang hobinya ngebar sambil grepe-grepe sama cewek random seperti Wisnu.

"Why?" Wisnu mengernyit. Tatapannya membantah. Dia jelas tidak suka karena aku menyanggah keinginannya.

"Enak di elo gak enak di gue," jawabku depensif.

Cinta memang tidak berperan penting dalam keputusan kami untuk menikah. Mendengar kata menikah saja sudah membuat bulu romaku merinding. Kesepakatan ini kami buat hanya untuk simbiosis mutualisme, karena kebetulan kami memiliki problem yang sama. Sama-sama dipaksa untuk cepat menikah. Aku karena usia, sedangkan Wisnu karena harta dan tahta.

Wisnu tertawa. Jenis tawa yang meremehkanku. Kilatan dalam bola matanya mengejekku. Ia tidak berhenti tertawa bahkan saat mengubah posisi duduknya dari bersandar menjadi tegap.

"Lo takut kalah saing karena selama ini lo ngerasa gak ada yang mau sama lo? Iya?"

Jika ada gelas berisi air keras di atas meja, aku tidak akan ragu untuk meluncurkan air keras dalam gelas tersebut, tepat ke wajahnya yang standar itu. Biar dia tahu, fisiknya bukan untuk disombongkan.

"Eh, jaga ya mulut lo! Mentang-mentang lo bisa gampang nidurin cewek, Nu. Lo belum tahu aja rasanya kalau semua kenikmatan lo dicabut sama Tuhan. Termasuk cinta."

"Wow." Wisnu bertepuk tangan sambil terus terkekeh. "Kenapa jadi lo bawa-bawa Tuhan?" tanya dia setelah berhasil menguasai diri. Tatapannya berubah menjadi lebih serius dan datar.

"Karena gue berbohong soal pernikahan. Gue tahu ini salah, tapi gue gak punya pilihan lain."

"Come on, Keyfa. Lo selalu punya pilihan dalam hidup," katanya yang tidak bisa kubaca makna dari kalimatnya. Aku diam.

Pasutri KampretWhere stories live. Discover now