Dengan sigap, para kobold itu kemudian mencengkeram lengan Ramos. "TIDAAK! TOLONG! HENTIKAAAN!" teriak Ramos dengan suara parau. Kakinya menendang-nendang sekuat tenaga. Namun, percuma saja, tubuh lemahnya tak mampu menandingi kekuatan empat kobold yang menyeretnya dengan paksa layaknya sebuah karung beras.

Borin berusaha membantu tuannya dengan mencoba menarik tubuh seekor kobold. Namun, sebuah sabetan keras ekor bersisik menghempaskan tubuh gemuknya terduduk kembali ke tempatnya. "LEPASKAN DIA!" Borin bangkit kembali hanya untuk dihantam dengan keras oleh pintu teralis besi yang dibanting menutup di hadapannya. Anak itu pun hanya bisa mengerang kesakitan sambil memegangi hidungnya yang berdarah.

Ramos terus meronta-ronta ketika para kobold itu mulai membaringkannya ke meja altar di tengah ruangan, lalu mengikat kedua tangan serta kakinya dalam posisi telentang. Ikatan itu begitu kencang sehingga membuat Ramos tak berdaya lagi. Ia hanya bisa menangis ketakutan. "To ... tolong aku ...," lirihnya memelas.

Gladys yang sejak tadi diam meringkuk mulai tampak terisak. Meski hubungannya dengan Ramos kurang baik, tetapi bagaimanapun juga, ia tetaplah seorang kakak yang tumbuh bersamanya sejak kecil. Perangainya memang kasar, tetapi sebenarnya Ramos selalu berusaha melindungi Gladys---dengan caranya sendiri.

Setelah memastikan kurbannya tak dapat bergerak lagi, pria tua itu memerintahkan para kobold pergi. Ia kemudian mengeluarkan sebilah pisau dengan batu ruby merah yang menempel di gagangnya. "Tolong ... jangan ... Ayahku akan memberikan apapun yang kau mau," rintih Ramos sembari berharap benda tajam itu ditarik menjauh dari pandangannya.

"Kau pikir aku menyekapmu selama ini hanya untuk membebaskanmu lagi? Jangan kira aku bodoh," ujar pria itu sambil menyeringai menyeramkan. Lidahnya menjulur-julur layaknya seekor ular. Sementara tangan kanannya menggenggam pisau, telapak kirinya terbuka menghadap ke bawah---sekitar 20 cm di atas dada Ramos.

"Das amorte aksebilli farcies." Ia pun merapal sebaris mantra, dan sebuah bayangan hitam tampak keluar dari telapak kirinya, merasuki tubuh Ramos. Setelah itu, ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi dengan pisau terhunus, bersiap menghujamkannya ke jantung Ramos.

"Mohon belas kasihan, Tuan, jangan bunuh dia." Kali ini Borin yang memohon untuk Ramos. Meski tak begitu menyukai sikap Ramos, tetapi ia tak pernah berharap akan kematian tuannya itu. Apalagi setelah ia berupaya untuk berubah.

"Kau benar-benar ingin dia hidup?" tanya pria tua itu sambil menyeringai licik. "Apakah kau mau menggantikannya sebagai kurban?"

Borin terdiam mendengar pertanyaan dari orang itu. Meski ia berharap Ramos bisa tetap hidup, tetapi untuk menukarnya dengan nyawanya sendiri? Anak itu merasa bahwa hidupnya masih lebih berharga.

"Hahaha ...." Pria tua pun itu terbahak. "Begini saja, aku punya satu pertanyaan. Kau harus menjawabnya dengan jujur dan aku akan membiarkannya hidup. Aku akan tahu jika kau berbohong."

"Baiklah," sahut Borin. Ia melihat secercah harapan.

"Kau memiliki seorang teman penyihir yang bisa menyembuhkan bukan? Apakah ia juga bisa menghidupkan orang yang sudah mati?" tanya Orang tua itu dengan wajah serius.

Borin pun kebingungan. Meski tahu bahwa yang dimaksud orang itu pastilah Anna, tetapi ia sendiri tak tahu sampai mana batas kemampuan perempuan itu. Ia juga heran, bagaimana bisa orang itu tahu bahwa dirinya berteman dengan seorang penyihir penyembuh.

"Aku tidak tahu," jawab Borin dengan jujur sesuai syarat yang diajukan oleh sang pria tua berambut perak itu.

"Hahaha ...." Orang itu tertawa lagi lalu berkata "Kalau begitu, ayo kita cari tahu." Usai mengucap jawabnya, ia langsung mengangkat tangannya dan menghujamkan pisaunya tepat ke jantung Ramos.

Putra Penyihir : Ritual Kematian [END] - Sudah Terbit (Sebagian Part Dihapus)Where stories live. Discover now