Bab 5

2.7K 656 426
                                    

Pagi itu, Aileen berjalan-jalan di halaman kastel Kingsfort yang dipenuhi dengan bunga-bunga mawar dan lili. Semuanya terawat dan tertata rapi sangat indah menyenangkan mata. Namun demikian, hal itu sama sekali tak dapat mengusir kegundahan hatinya. Langkahnya gontai dan pandangannya pun kosong. Raut kekhawatiran terpancar jelas dari wajahnya. Seharusnya anak-anaknya sudah tiba sejak dua hari yang lalu.

"Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Aileen pada suaminya, yang sejujurnya, ia pun tahu tak akan bisa memberikan jawaban.

"Aku harap demikian. Eric bersama mereka, seharusnya mereka aman." Gideon berusaha menenangkan istrinya meski hatinya juga tak sepenuhnya yakin. "Ayo kita berjalan-jalan ke pasar saja, siapa tahu ada sesuatu yang kau suka," ajak Gideon. Mereka pun berjalan keluar dari kastel menyusuri jalanan kota.

Di pasar sangat ramai. Orang-orang dari berbagai kalangan, baik tua, muda, maupun kaya, dan miskin berkumpul di situ. Suara para pedagang yang berteriak bersahutan, membuat suasana kian semarak. Setelah melihat-lihat sejenak, Aileen tertarik dengan sebuah saputangan berwarna kuning muda. Bahannya bagus, dengan sulaman sulur dan dedaunan membentuk siluet hati, dilengkapi dua buah mawar di tengah-tengahnya.

"Berapa harganya?"

"Lima perak, Nyonya," jawab si penjual ramah.

Aileen hendak mengambil uang dari sakunya, ketika dia merasa ada sesuatu yang aneh. Dompetnya tak ada di situ! Ia pun panik dan segera melihat ke sekeliling. Seorang anak berlari dengan gesit menembus kerumunan. Aileen pun berteriak spontan sambil menunjuk kepada anak itu. "PENCURI!"

Tuan Gideon berusaha mengejar. Namun, karena banyaknya orang, ia tak dapat menandingi kecepatan anak itu dan hampir kehilangan jejak. Ketika tampaknya si pencuri akan lolos, tiba-tiba seseorang dengan pakaian putih berkerudung, menyergap. Bocah gesit itu pun jatuh tersungkur ke tanah. Tangannya dipiting oleh orang asing tadi, membuatnya hanya bisa meronta tak berdaya.

"Ini milik istrimu." Setelah mengikat si pencuri, orang asing itu menyerahkan dompet Aileen kepada Gideon.

"Terima kasih banyak anak muda. Siapa namamu? Aku akan memberikan imbalan berlipat."

"Namaku Bram. Anda tak perlu berterima kasih kepadaku, Tuan. Berterima kasihlah kepada Tuhan. Hamba hanyalah seorang gerpa."

Mendengar itu, tuan Gideon menjadi bingung. "Apakah gerpa itu? Lalu bagaimana caraku berterimakasih kepada Tuhanmu?"

"Gerpa berarti pelayan Tuhan. Mari ikut aku." Bram berjalan sambil menggiring pencuri kecil tadi. Tuan Gideon bersama istrinya pun mengikutinya dengan penuh tanya.

Mereka berjalan semakin menjauh dari keramaian, menuju ke sisi utara kota. Setelah berjalan sekitar setengah jam lamanya, mereka akhirnya tiba di sebuah dataran tinggi tandus. Ada bangunan kuil sederhana yang berdiri di situ, terbuat dari batu-batu putih yang disusun sedemikian rupa. Di pelataran depan terdapat beberapa orang berjualan hewan ternak maupun sayur-sayuran. Aileen terbatuk beberapa kali karena banyaknya debu yang berterbangan di sekitar situ.

"Mengapa mereka berjualan di sini? Bukankah di pasar jauh lebih ramai?" tanya Aileen pada Bram.

"Barang yang dijual di sini bukanlah untuk konsumsi pribadi, melainkan untuk dipersembahkan kepada Tuhan." Bram menjelaskan lalu menyerahkan pencuri kecil tadi kepada seorang gerpa lainnya. Ia juga mengenakan pakaian putih berlengan panjang yang sama seperti Bram.

Setelah pencuri itu dibawa pergi, Gideon pun bertanya, "apa yang akan kau lakukan padanya?"

"Ia akan ditahan untuk sementara sebelum diadili. Kalian juga akan diundang untuk bersaksi." Bram menjelaskan lalu mengajak Gideon dan Aileen melihat-lihat barang yang dijual untuk persembahan. "Beginilah cara kami berterima kasih kepada Tuhan. Yaitu dengan memberikan persembahan kepadaNya."

Semua penjual di situ juga adalah para gerpa. Setiap barang yang dijual memiliki harganya masing-masing. Gideon memilih seekor anak lembu sebagai persembahannya kepada Tuhan. Harganya lima koin emas. Setelah dibayar, hewan kurban itu dibawa masuk ke dalam pelataran persembahan untuk disembelih. Keempat kakinya diikat sehingga ia tak bisa bergerak lagi saat nanti lehernya digorok. Sementara itu, seorang gerpa tua maju dan mulai membaca doa. Seorang jagal tampak bersiap dengan goloknya, mengabaikan suara tangisan pilu si anak lembu.

Tak lama kemudian, ketika doa telah selesai dibacakan, sang jagal maju untuk menunaikan tugasnya. Dengan cekatan dan tanpa ragu, ia pun memotong leher anak lembu yang sudah lemah dan tak berdaya itu. Suara tangisan yang tadi begitu nyaring seketika tergantikan oleh keheningan diiringi rembesan darah yang mengalir membasahi lantai berbatu.

Setelah kurban selesai dikuliti, sang Gerpa tua yang tadi membaca doa, kini maju dengan membawa sebuah papan kayu. Seorang jagal meletakkan sepotong daging di atas papan kayu itu untuk dibawa masuk ke dalam kuil suci. Gideon dan istrinya dipersilakan masuk ke dalam untuk berdoa.

Suasana di dalam kuil itu temaram. Sinar matahari terpancar masuk melalui lubang-lubang di dinding. Beberapa lilin menyala menambah penerangan meski tak seberapa. Di dinding depan kuil tergantung sebuah patung emas berbentuk pohon besar dengan mata di tengah-tengahnya. Aileen bersin seketika masuk ke situ. Bau abu hasil pembakaran kurban menyeruak menusuk hidung.

Sang gerpa tua kemudian membawa potongan daging kurban tadi ke dalam perapian di bawah patung emas untuk dibakar. Api pun dinyalakan dan asap membumbung tinggi keluar melalui cerobong asap.

"Ayo kita berdoa," bisik Gideon pada istrinya. Tak ada salahnya untuk mencoba, pikirnya—meski sebenarnya, ia pun belum mengenal siapa Tuhan yang dilambangkan sebagai pohon emas itu. Keduanya pun bergabung dengan serombongan orang lain yang sedang berdoa di situ. Mereka berdiri sambil menunduk di depan patung pohon emas yang tergantung di dinding tadi.

Usai berdoa untuk keselamatan anak-anaknya, Gideon dan Aileen pun keluar dari kuil suci. Bram menemui mereka, kemudian menjelaskan inti dari kepercayaannya yang dikenal sebagai ajaran Herod.

Pada mulanya, ajaran itu disebarkan oleh seorang filsuf bernama Herod yang hidup bertapa di sebuah gunung. Ia memperoleh penglihatan berupa pohon besar dengan mata menyala di tengah-tengahnya, sekaligus menerima ajaran yang diberikan kepadanya untuk diwartakan. Saat ini, ajaran itu memang belum tersiar sampai ke pulau Yaendill, karena keterbatasan pewarta sekaligus keberadaannya yang secara geografis terpisah oleh laut Tangal.

Secara filosofis, pohon besar diartikan sebagai kehidupan, sementara mata bermakna pengetahuan. Mereka percaya akan adanya Tuhan yang adalah sumber kehidupan, sekaligus Maha Mengetahui. Tiga ajaran intinya yaitu Ketaatan kepada Tuhan, kasih untuk sesama, serta hukum bagi pendosa. Semua itu, kemudian dijabarkan lagi menjadi peraturan-peraturan yang lebih rinci dan detail.

"Akan butuh bertahun-tahun untuk memahaminya," ujar Bram kemudian sambil menyerahkan beberapa potongan daging kurban untuk dibawa pulang. "Ini sebagian daging kurban yang telah kalian bayar. Sebagian lagi akan dibagikan untuk para gerpa serta orang-orang miskin di kota."

"Terima kasih." Gideon menerima bagiannya kemudian bersiap pulang ke kastel.

Ketika membalikkan badan untuk pergi, Aileen melihat seseorang yang tampak tak asing. "Bukankah itu Isabel?" Tampak sesosok putri cantik berambut pirang berjalan mendekati kuil.

Melihat kedatangan Isabel, Bram pun meninggalkan Gideon dan istrinya untuk menyambut sang putri. Dari cara mereka berdua saling memandang, Aileen menyadari bahwa sepasang manusia itu sepertinya cukup dekat.

"Anak kita akan mempunyai saingan yang berat," gumam Aileen pada suaminya. Wajah Bram memang dapat dikatakan cukup tampan. Garis rahangnya tegas ditambah dengan mata birunya yang seolah dapat menghipnotis setiap perempuan. Tubuhnya pun tinggi dan kekar, membuat lawan jenisnya senantiasa merasa aman dalam lindungannya.

"Yang terpenting sekarang adalah, dia harus tiba di sini dengan selamat terlebih dulu." Gideon menanggapi istrinya. Seandainya sesuatu yang buruk menimpa putra angkatnya itu, ia akan merasa amat bersalah terhadap kakaknya karena gagal menjaga satu-satunya warisan yang telah ditinggalkan.

Aileen mengangguk setuju. Keduanya punmemutuskan untuk berjalan kembali ke kastel sambil terus berharap doa merekadidengar oleh Tuhan---yang baru saja mereka kenal.

Putra Penyihir : Ritual Kematian [END] - Sudah Terbit (Sebagian Part Dihapus)Where stories live. Discover now