Dengerin mulmed diatas buat nambah kesan efek ehe
.
.
Joice membuka matanya perlahan, menyesuaikan cahaya yang menyeruak masuk ke indra pengelihatannya. Sesekali merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku dan sakit.
"Sudah bangun, putri tidur?" Joice mengedarkan pengelihatannya dan mendapati empat sosok yang sangat ia kenal ada didepannya, lebih tepatnya dikamarnya.
"Kalian? Sejak kapan ada disini?" tanya Joice bingung.
Wenda mendekat kesisi ranjang Joice, tangannya terulur membelai lembut surai hitam Joice. Sebuah senyum tipis terukir di bibir merah jambunya.
"Sejak kau membunuh Jeremy, Bodoh!" Senyum tipis Wenda berubah menjadi semburat marah dan tangannya telah berpindah ke telinga Joice. Menariknya sedikit keras dan menyebabkan si empu mengaduh kesakitan.
Tapi perhatian Joice teralihkan saat mengingat ucapan Wenda. Membunuh Jeremy? Apanya yang membunuh Jeremy? Seingatnya ia tertidur karena terlalu lelah menangis kemarin malam.
"Aw aw unnie! Apa maksudmu? Membunuh Jeremy? Aku tidak paham, sungguh."
"Oh ayolah Joice, aku tau kau cukup tega untuk melakukan itu."
Joice menggelengkan kepalanya acak, sungguh dia tidak tau apa-apa disini. Apalagi dituduh membunuh Jeremy. Oke, Joice akui ia memang dendam pada Jeremy, tapi dia tidak sebodoh itu untuk membunuh Jeremy. Karena Joice tau, ini akan memperkeruh keadaan diantara kedua kerajaan.
Yerrin yang melihat tatapan bingung Joice sontak menutup mulutnya kaget.
"Oh no! Jangan katakan unnie tidak ingat?" ucap Yerrin heboh.
"Gosh Joice, kau baru saja membunuh Jeremy, Jeremy Dolores dengan tangan mu sendiri dan sekarang kau bahkan tidak mengingat hal itu sama sekali? Gawat, dugaan ku benar jika begitu." sela Irina.
"Sihir itu muncul dari sisi tergelap Joice dan tentu pada alam bawah sadarnya. Wajar jika dia tidak mengingat apa yang telah dia lakukan." jelas Irina yang membuat mereka kembali dirundung rasa kaget. Terutama Joice yang sudah kehilangan kata-katanya.
"Unnie, lalu aku harus apa?" tanya Joice putus asa.
"Apalagi jika bukan menghadapi perang itu." jawab Irina santai.
Joice memijit pelipisnya, kepalanya pusing. Peperangan bukan hal yang asing, namun ini bukan sesuatu yang bagus. Joice tidak ingin banyak nyawa melayang diperang ini. Terutama keluarga, kerabat dan teman-temannya.
Joice bangun dari duduknya. Ia berjalan ke sisi jendela dikamarnya. Menatap bulan yang malam ini bersinar sangat terang. Berbanding terbalik dengan hati Joice yang sedang mendung, bahkan badai.
"Apa lebih baik aku menyerahkan diri saja?" racau Joice yang langsung mendapat protes dari yang lainnya.
Irina berjalan mendekati Joice. Gadis angun tersebut meletakkan tangannya diatas bahu Joice. Sedikit mengelusnya lembut, namun sedetik kemudian berubah menjadi cengkraman sedikit kuat, seolah menyalurkan kekuatannya pada Joice.
"Jangan meragukan kemampuan klanmu, Joice." ucapnya yang mendapat anggukan setuju dari Selly.
"Bukan kah Jeremy yang pertama menyalakan api? Menurutku dia pantas mendapatkan balasan ini. Mereka tidak boleh protes karena putra mahkotanya lah yang lebih dulu membunuh Rossane." lanjut Selly.
"Tapi-"
"Selly benar sayang."
Mendengar suara yang tak asing, sontak Joice membalikkan tubuhnya dan menemukan sang ayah berdiri didepan pintu kamarnya.
"Ayah." ucap Joice bersamaan dengan pandangannya yang melayu.
Sang raja berjalan pasti menuju putri sulungnya. Dengan sekali hentakan menarik putrinya kedalam pelukannya, hingga terdengar isakan kecil dari sang putri.
"Tidak perlu khawatir sayang, klan kita merupakan klan terkuat. Kita akan dengan mudah memenangkan peperangan itu." ucap sang raja menyakinkan putrinya.
"Tapi ayah.."
"Tidak ada tapi-tapian Joice. Si keparat Jeremy pantas mati karena telah membunuh Rossane. Kamu melakukan hal benar."
Joice terdiam. Ia masih meragukan apakah tidakannya sudah benar atau malah gegabah.
"Boleh ayah meminta satu hal?" tanya raja Duke yang diangguki oleh Joice sebagai izin.
"Pergilah ke Emerland. Dominic akan menemuimu disana, ia akan menjelaskan semuanya. Kamu memiliki waktu 3 bulan sebelum peperangan itu pecah Joice. Dan kalian, aku harapan kalian juga pergi bersama Joice. Karena kalian berlima harapan kami. Ayah menunggumu dimedan perang." raja Duke mengakhiri kalimatnya dan langsung meninggalkan kamar Joice setelah mencium kening putri sulungnya.
Raja Duke tidak memberi sela untuk Joice atau bahkan gadis lainnya untuk bertanya, apalagi protes. Karena setelahnya ia sudah menghilang dari pandangan kelima gadis itu, entah kemana.
Dengan berat hati, Joice menghampiri keempat temannya.
"Aku tidak memaksa kalian ikut bersamaku, tidak apa-apa. Aku yakin bisa sendiri." ucap Joice seraya menyinggungkan senyumannya yang terlihat sangat terpaksa. Ini salahnya, jadi ia yang harus menanggung konsekuensinya sendiri.
Irina sontak memukul lengan Joice sedikit keras.
"Yak bodoh! Mana mungkin kami membiarkanmu sendiri." ucapnya jengkel.
"Benar, lagipula raja bilang kita berlima harapan klan ini kan. Tentu tanpa paksaan kami akan ikut bersamamu Joice." tambah Wenda yang diangguki setuju oleh yang lainnya.
Entah keberapa kali, tapi Joice tidak pernah tidak bersyukur telah mengenal keempat gadis didepannya.
"Aku sayang kalian." ucap Joice yang disambut pelukan keempatnya.
¥
Kalo pada tanya siapa visual jeremy, pada saatnya kalian akan tau wkwk
Kalo sekarang aku kasih tau nanti kalian patah hati wkwk
