Episode 1 - Abu-abu

9K 924 110
                                    

SD swasta Kristen di seberang jalan itu rupanya juga mengadakan perayaan kelulusan hari ini.

Mobil-mobil terparkir sampai ke pinggir jalan. Ibu-ibu dan bapak-bapak berpakaian formal yang terlihat elegan dan mewah keluar-masuk gerbang yang memang dibiarkan terbuka. Siswa-siswinya, yang memakai jubah hitam dan toga seperti seragam wisuda orang dewasa, tampak bangga leher mereka dikalungi medali keemasan yang berkilau-kilau terkena cahaya matahari. Sayup-sayup suara pembawa acara, sambutan-sambutan dari para guru, hiburan musik dan seni tari, juga pelepasan wisudawan-wisudawati terdengar sampai ke tempat Dayan duduk di bangku kayu panjang milik sebuah bengkel yang masih tutup.

Dayan menyimak semuanya seolah-olah ia adalah bagian dari acara yang meriah itu. Ia geli membayangkan dirinya memakai jubah hitam dan kalung medali yang menurutnya hanya cocok dipakai oleh siswa-siswi yang berprestasi, tetapi ia tidak keberatan mengenakannya sekali itu saja kalau pakaian itu menandakan ia pernah memiliki masa sekolah yang bahagia di sekolah yang bagus.

Dayan menarik napas dan membuangnya sebagai dengusan kesal. Lagi-lagi ia memikirkan hal yang konyol itu. Ia sudah terlalu terbiasa melewati sekolah dasar Kristen itu dalam perjalanan pulang-pergi ke sekolah dan membayangkan betapa menyenangkannya menghabiskan waktu setiap hari bersama orang-orang yang sama dengannya di sana. Agama sama, warna kulit sama, kelas ekonomi sama. Sekolah dasar itu terkenal menghasilkan murid-murid yang berprestasi. Mungkin Dayan juga akan menjadi anak yang lebih berguna kalau bersekolah di sana, karena ia bisa lebih berkonsentrasi belajar sampai mendapatkan nilai yang tinggi dan mengikuti banyak lomba lalu memenangkannya.

Ia tidak perlu mengkhawatirkan guru-guru tidak kompeten yang pergi ke sekolah hanya untuk memenuhi presensi agar mendapatkan gaji. Ia juga tidak perlu mengkhawatirkan siapa-siapa saja anak kelas lain dan kakak kelas yang akan mencegatnya sepulang sekolah, merampas uang jajannya, dan menertawainya dengan lelucon-lelucon yang sebenarnya tidak lucu hanya karena ia berasal dari keluarga yang lebih berada. Hanya karena ia berwajah campuran. Hanya karena ia Kristen. Hanya karena ia tidak punya orang tua.

Ia tidak perlu berkelahi dengan siapa-siapa dan merusak fasilitas sekolah hanya agar pihak sekolah muak dengannya lalu mengeluarkannya karena ia ingin pindah.

Ia juga tidak perlu mendengar alasan-alasan bodoh Om Daniel yang selalu saja menggagalkan semua usahanya untuk pindah ke sekolah Kristen di seberang jalan itu.

Mulai hari ini, Dayan sudah tidak perlu lagi memikirkan itu semua. Ia sudah lulus dari sekolah negeri yang selama enam tahun ini terasa seperti penjara dan akan mendaftar ke SMP swasta pilihannya sendiri. Sebuah SMP Kristen di mana sebagian siswanya berwajah campuran, membaca Alkitab dan berdoa di gereja, dan berasal dari keluarga menengah ke atas yang tidak akan punya alasan untuk mengganggunya karena mereka semua memiliki latar belakang yang serupa. Dayan sudah muak dengan terlalu banyaknya perbedaan. Ia lelah terus dibeda-bedakan.

Dayan membuka kunci layar ponsel, memeriksa pesan baru dari Om Daniel yang masuk empat menit yang lalu.

"Udah selesai. OTW," tulis omnya ringkas.

"Aku di bengkel," balas Dayan tak kalah ringkas.

Setelah pesan itu terkirim, Dayan menyandarkan punggung sambil menekan tombol untuk menonaktifkan layar. Pandangannya tak sengaja menangkap pantulan wajahnya di permukaan datar ponselnya yang berwarna hitam itu. Ia menyentuh bagian rambutnya yang belakangan ini diwarnai abu-abu. Warna yang sama dengan warna matanya. Warna yang Dayan klaim sebagai warna yang mewakili dirinya sekaligus simbol pemberontakan. Ia tidak akan menghilangkan warna ini dari rambutnya sampai Om Daniel mau memberi tahu siapa sebenarnya Liliana Janice Wijaya, nama yang tertulis di akte kelahiran Dayan sebagai ibunya sendiri tetapi tak pernah sekali pun ia tahu siapa dan di mana keberadaan wanita itu selama ini.

Episode DayanWhere stories live. Discover now