Part 12

5.3K 585 13
                                    

“Aku mau kamu pindah ke kantorku dan jadi sekretarisku.”

Naswa yang masih sibuk dengan setrikaannya dikejutkan dengan suara Aji. Lelaki itu baru saja pulang dari masjid setelah salat subuh. Namun, perkataannya sudah membuat Naswa bingung.

“Kenapa harus pindah kantor? Aku sudah lama kerja di sana! Di sana itu enak, kok—“

“Perintah suami wajib dituruti.”

“Hm.”

Naswa mengalah dengan gumamam panjang yang membuat Aji tersenyum senang. Bukan tanpa alasan, lelaki itu ingin istrinya pindah kantor. Selain karena, ia menjaga Naswa mungkin juga karena rindu.

“Jangan lupa nanti siang kita akan ke butik. Aku mau beli baju untuk resepsi kita.”

Naswa kembali mengangguk. “Iya, Kapten.”

Aji terkekeh pelan dan memberi isyarat agar Naswa mendekat. “Ke sini dulu,” ujar Aji di depan cermin.

“Ada apa?” tanya Naswa mengerutkan kening.

Mereka berdiri berdampingan di depan cermin. “Ternyata Nanas pendek, ya!”

Naswa menyipitkan mata. Ia kira Aji ingin berbicara sesuatu, ternyata lelaki itu mulai lagi dengan ciri khas sifat tengil. Baru saja, ia akan melangkah pergi sebuah lengan kekar menahan.

Mereka kini saling berhadapan. Aji hanya tersenyum manis dan mulai mendekatkan wajah. Lelaki itu mendekatkan  bibirnya ke telinga Naswa.

“Pendek aja nggak apa-apa. Kalau pendek itu mudah dicium.”

Satu kecupan di kening Naswa membuatnya gelagapan. Tanpa permisi, wanita itu keluar kamar meninggalkan Aji yang masih tersenyum senang. Sifat pemalu yang dimiliki istrinya memang menggemaskan.

Selama ini Aji berusaha menahan untuk memperlakukan Naswa lebih. Lelaki itu takut membuat perasaan tidak nyaman di hati istrinya. Ia akan mencoba mendekati dengan perlahan dan mulai membuat nyaman.

Semoga lelaki itu bisa mewujudkan tekadnya.

***

“Jadi? Kita langsung ke butik?” tanya Naswa.

Aji mengangguk sembari melihat jam yang menunjukkan pukul satu siang. “Kamu izin sekalian aja, Nanas. Nanti setelah ke butik kita masih ngurus yang lain.”

“Ngurus apa lagi?” Naswa bertanya sembari mengerutkan kening.

“Ada, deh.”

Akhirnya percakapan itu ditutup dengan Naswa yang meminta izin pada bosnya. Anti hanya mampu melemparkan godaan pada sahabatnya itu. Entahlah, takdirnya memang tidak terduga.

“Ayo.” Naswa berkata seraya menaiki mobil Aji.

“Mana tangan kamu.”

Kali ini Naswa kembali dibuat bingung oleh perintah Aji. Wanita itu memilih mengulurkan tangannya tanpa tanya. Setelah itu, sebuah jari-jari besar mengisi tiap celah jemarinya.

“Tuhan menciptakan jarak antara jari agar ada yang mengisinya. Ya, seperti ini. Jadi  maukah Tuan Putri membersamai Sang Pangeran sampai tua nanti?”

Naswa menutup mulut menutupi senyuman yang tersungging. Sedikit gemas ia mencubit lengan Aji. Suasana di mobil itu kini menghangat. Candaan yang sederhana mampu membuat mereka nyaman dengan kedekatan ini.

“Kemarin sapaannya Kapten dan Ibu Negara, sekarang Tuan Putri dan Pangeran besok apa lagi?”

“Sayang, Bee, atau apa pun asalkan aku bisa melihat senyum di bibirmu itu.”

Mobil berjalan dengan kecepatan sedang. Percakapan hangat tadi masih berlanjut dengan percakapan ringan lain. Tanpa sadar, Aji mulai membangun rasa nyaman di hatinya juga di hati Naswa.

Semilir sang bayu ikut membelai lewat kaca mobil yang terbuka. Sesekali tawa mereka terdengar merdu. Hal sederhana akan terasa istimewa jika dilaksanakan dengan pasangannya. Semesta seakan ikut berdendang melihat keduanya.

***

“Mau foto prewed?” tanya Aji.

“Heleh, sudah nikah kok prewed segala?!” Naswa berkata seraya memasuki butik yang sedikit lengang itu.

Aji yang mengekorinya itu hanya tertawa kecil. Sepanjang perjalanan tadi, rasa bahagia meliputi hati. Tidak bisa dipungkiri, ternyata menikah membuat perubahan besar dihidupnya.

“Hai, Ji!”

Sapaan itu terdengar riang. Wanita dengan tubuh semampai berjalan sedikit tergesa dan pada akhirnya memeluk Aji. Naswa yang melihat kejadian itu hanya melengos. Namun, tidak urung jua Aji memundurkan diri berusaha menahan Sabrina agar tidak mendekapnya.

“Bagaiaman kabar?!”

Aji melirik Naswa yang kini wajahnya telah berubah seratus delapan puluh derajat. Lelaki itu tersenyum dalam hati, ia paham bahwa istrinya telah merasa cemburu mungkin. Setelah puas memperhatikan raut jengkel tersebut, ia kembali berbincang dengan Sabrina.

“Kabarku baik, Sab. Aku hanya ingin melihat model baju untuk pengantinku yang bulan lalu telah dipesan.”

“Oke! Eh, siapa bidadari ini?” tanya Sabrina melirik Naswa.

Aji terkekeh dan merangkul pundak Naswa.

“Dia, Naswa, istriku.”

“Wah, jadi sudah nikah tapi belum resepsi? Selera kamu oke juga, Ji. Ayo, Naswa.”

Naswa tersenyum kaku dan sedikit kasar melepas rangkulan Aji. Wanita itu sedikit terusik dengan kelakuan suaminya. Ia menatap Sabrina dengan tatapan memindai.

Setelah kepergian Naswa, Aji hanya mampu bergumam. “Bahkan dalam keadaan cemburu, istriku itu masih cantik. Duh, dasar!”

Sederet gaun tanpa lengan membuat Naswa mengernyit. “Apa semua gaun yang ada tanpa lengan seperti ini?”

“Tidak, kok. Aji dan kedua orang tuanya telah memesan gaun yang berlengan panjang, jadi bisa dipakai dengan jilbab. Ngomong-ngomong, kamu dan Aji sudah berapa tahun pacaran. Eh, tapi seingatku yang kemarin datang dengan Aji itu bukan kamu. Kalau nggak salah namanya Rea.”

Sabrina berkata dengan nada santai.
Naswa menerima gaun yang Sabrina sodorkan. Wanita itu mengangguk membenarkan. Di sini dia adalah pengantin pengganti sekaligus pengantin dadakan.

"Kami tidak pacaran hanya saling mengenal dari SMP." Naswa membenarkan pernyataan Sabarina.

Sabrina mengangguk-angguk dan menggiring Naswa ke ruang ganti. Wanita itu telah melupakan pernyataan tadi. Ia terlalu bodo amat untuk mengurusi urusan orang lain.

“Apa kamu bisa ganti baju sendiri?”

Naswa mengangguk dan memasuki ruang ganti. Rasa tidak suka dengan Sabrina mendadak hilang entah ke mana. Ia sadar, sahabat Aji itu memang ramah dan baik.

Di sisi lain Aji pun mengganti pakainnya dengan baju pengantin. Setelah beberapa menitt berlalu, mereka keluar dengan baju yang pas. Naswa sedikit kikuk dengan high heels yang dipakainya. Bahkan ia hampir terjatuh, jika sebuah tangan tidak menahan lengannya.

“Hati-hati, Tuan Putri,” ujar Aji tersenyum.

Naswa buru-buru bangkit dan tegak berdiri. “Hm," ujar Naswa berdehem.

Sebelum Aji menegur kecuekan Naswa, sebuah tepuk tangan melerai perdebatan. “Duh, ternyata kalian cocok sekali. Bajunya juga pas! Em, coba lingkarkan tangan kamu ke pinggang Naswa, Ji. Aku ingin memotret kalian.”

Masih dengan senyuman, Aji menarik pinggang ramping istrinya. Meskipun dapat tertangkap gurat tidak suka di wajah Naswa, tetapi wanita itu tetap berusaha tersenyum. Sampai tiga sesi pemotretan, mereka pun berganti pakaian.

“Don’t envy, My Princess! Always you in my heart. Only.” Aji berbisik sebelum Naswa pergi.

Sebuah lengkungan bulan sabit kembali timbul di bibir Naswa. Kenapa bisa pertahanannya luruh karena kalimat sederhana tadi. Ia pun tidak mengerti lagi. Logikanya tidak bekerja karena rasa hangat yang menjalari pipi dan juga wajahnya. Jatuh cinta telah mengubah segalanya.

Bukan Gadis Lagi (Completed) [TERBIT]Where stories live. Discover now