Prolog - Daiva

384K 7.5K 238
                                    

Usiaku hampir tiga puluh tahun. Orang bijak bilang, hidup manusia baru dimulai ketika ia berusia empat puluh tahun dan itu berarti aku masih punya sepuluh tahun menuju kesana. Mungkin bagi sebagian orang itu bukan masalah besar. Umur manusia setiap hari memang bertambah, atau jika mau jujur sebenarnya umur manusia berkurang setiap harinya. Orang-orang bertambah tua lalu kembali kepada Tuhan, penciptanya. Itu perjalanan hidup manusia secara normal. Bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua. Dan diantara tahun-tahun itu, lazimnya akan ada yang namanya jatuh cinta, kemudian memutuskan berkeluarga dan membina rumah tangga.

Tapi dalam usia nyaris kepala tiga ini boro-boro berkeluarga, cari Pendamping Hidup susahnya setengah mati. Padahal aku nggak jelek-jelek banget, lumayan manis kata orang-orang, tapi yang namanya jodoh seolah-olah alergi mendekatiku. Mungkin aku tidak sendirian, tapi kalau setiap aku mudik pulang kampung, Mama dan adik-adiknya selalu bertanya, 'Kapan mau nikah, Daiva?' atau "Ajak dong pacarmu, biar kenal sama keluarga.'

Kalau sudah begitu biasanya aku cuma tersenyum manis, 'Ah.... masih muda ini.' Atau 'Belum ada yang cocok.' Atau 'Ya... Ntar deh kalo udah saatnya, lagi seneng-senengnya kerja.' Dan kalau sudah begitu mereka juga tidak kehilangan akal, 'Enak lho kalo udah punya suami, ngantor ada yang anter jemput. Kalo sakit ada yang nganterin ke dokter, ada yang ngingetin makan. Tuh liat temen-temen kamu, sepupu-sepupu, udah pada gendong anak semua.'

Siapa sih yang tidak kepengin nikah? Tidak kepengin berkeluarga dan memiliki keturunan? Tapi menikah itu membutuhkan dua orang yang ternyata susah banget ketemu sama yang namanya pendamping hidup, belahan jiwa, jodoh atau calon suami potensial. Bahkan untuk aku yang bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan ritel untuk merek-merek kelas menengah atas, dengan pergaulan yang luas dimana berseliweran mahluk berjenis kelamin laki-laki dalam setiap lantai di gedung kantorku, tapi yang namanya jodoh seolah-olah bersembunyi di dasar lautan. Wajarkan kalau kemudian aku bilang menikah itu bukan masalah yang sederhana. Apalagi bagi orang seperti aku yang menganggap pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. Itu berarti jika aku menikah nanti, aku harus menikah dengan orang yang tepat yang juga memiliki komitmen yang sama denganku.

Masalahnya sampai dengan hari ini, aku belum menemukan cowok yang memiliki komitmen yang sama denganku dan berani untuk terus konsisten pada komitmen itu. Cowok yang benar-benar dewasa dan memegang teguh komitmennya. Cowok dewasa yang mencintai aku, mampu menjaga aku, mengerti aku dan menerima diriku apa adanya. Dan tentu saja yang kucintai. Itu paling penting!

Barangkali benar apa yang pernah kubaca dalam sebuah buku populer, ada tiga misteri dalam kehidupan ini. Kelahiran, kematian dan perjodohan. Orang bilang jodoh di tangan Tuhan dan wanita diciptakan dari tulang rusuk pria. Jadi pertanyaannya adalah 'Tulang rusuk siapakah yang kucuri ini?' Itu tetap akan jadi misteri hingga saatnya nanti tiba. Tapi setiap orang tidak mungkin pasrah saja pada nasib dan tidak berusaha sama sekali. Ada orang yang nggak ngapa-ngapain terus langsung bertemu dengan jodohnya, ada yang harus mengejarnya sampai menyeberangi lautan, itupun belum tentu orang itu benar-benar jodohnya. Atau ada yang sudah berusaha mati-matian dengan segala cara tapi tidak berhasil juga, yang artinya ia memang ditakdirkan untuk tidak menikah.

Dan mau tidak mau akhirnya aku berpikir ke situ. Yah... buktinya sampai dengan hari ini, aku masih jomblo. Padahal aku sudah lumayan berusaha lho, mulai dari kenalan dengan relasi kantor sampai dengan nongkrong dengan rajin di tempat hiburan, tebar pesona di mal, cafe sampai bandara, tapi tetap saja hasilnya nihil. Walaupun aku tidak sampai ikut rubrik jodoh atau chatting di dunia maya dengan orang tak dikenal. Aku belum berpikir sejauh itu. Karena aku yakin aku tidak sendirian. Bukan aku saja yang kelabakan mencari jodohku, aku yakin kok banyak cowok-cowok yang juga kebingungan mencari jodohnya. Jadi sebenarnya menjomblo sama sekali bukan masalah besar. Kesendirianku dalam ngejomblo ini asyik-asyik saja dan aku tidak sampai mengkategorikan menikah sebagai motivasi hidup, itu kelihatan terlalu mengada-ada dan menyedihkan sekali. Tetapi pernikahan memang bukan keharusan melainkan pilihan. Kita boleh memilih menikah atau tidak. Nilaiku sebagai manusia dan wanita tidak akan berkurang hanya dengan menikah atau tidak. Dan menikah juga tidak menjamin hidupku tidak akan kesepian.

Akan tetapi jauh di lubuk hatiku yang terdalam, ketika aku menatap mata kedua orangtuaku yang berharap melihat aku bersama seseorang, melihat cinta menghampiri hidupku, melihat seseorang menyelipkan cincin dijariku, mau tidak mau aku ikut memikirkannya. Dan tidak munafik aku menginginkan hal itu.

Aku percaya bahwa perjodohan dan cinta adalah takdir. Cinta muncul dalam beragam bentuk dan dalam beragam pencarian yang unik serta berbeda-beda, hingga kebahagiaan itu benar-benar datang. Aku hanya perlu berjalan sendirian dengan penuh keberanian hingga ke ujung jalan itu, ke tempat seseorang menungguku hingga aku berhasil menemukannya.

Une Personne Au Bout De La RueWhere stories live. Discover now