29. Boy Erased

30.6K 3.1K 1.1K
                                    



Bagian dua puluh sembilan.

Boy Erased (2018)

"I don't want to pretend anymore."

❀❀❀❀

Tara

Saat duduk di bangku sekolah, gue gak pernah terpikir jauh untuk membanggakan orang tua. Yang terlintas di benak gue cuma satu, "Kenapa gue bego banget?"

Setiap guru bertanya sesuatu, gue gak pernah punya keberanian untuk mengangkat tangan apalagi menjawab, karena meskipun gue ingat pernah mempelajarinya, gue gak pernah tau bagaimana cara menjawabnya.

Tutur kata gue gak sebagus orang lain. Apa yang menurut gue lucu gak dianggap lucu oleh mereka, apa yang gue senangi gak banyak diomongin oleh orang lain. Gue gak pernah tau bagaimana rasanya jadi pusat semesta.

Kehadiran gue gak pernah punya arti khusus. Bahkan gue yakin, teman sekelas gue semasa SD dan SMP dulu gak pernah ingat pernah punya teman bernama Utara Paramayoga.

Jadi untuk orang yang gak pernah bisa mampu melakukan semua hal, bisa melakukan sesuatu pada akhirnya adalah.... hadiah.

Hadiah yang membuat gue menghela napas dan berkata, "Akhirnya."

Pak Santos adalah orang yang memberikan itu pada gue.

Pusat semesta itu, kemampuan itu, hadiah itu.

"Kamu gak bisa begitu aja mengundurkan diri dari WCC, Tara. Semua sudah ditetapkan sejak awal," Pak Santos hari itu marah besar.

Marah besarnya yang pertama setelah empat belas tahun dia menjadi pelatih gue.

"Saya gak bisa, Pak."

Keputusan gue sudah bulat. Tapi gue pernah dengar, sebuah keputusan yang bulat harusnya gak meninggalkan penyesalan. Namun gue malah sangat teramat menyesal. Ada luka yang begitu menganga di hati gue sehingga perlahan, semua kalimat itu sulit terucapkan.

"Tara, kamu harus profesional," amarah Pak Santos begitu jelas terdengar di suaranya yang tetap pelan dan penuh wibawa. "Kamu gak bisa begini. Apa kata federasi dan pemerintah kalau kamu-"

"Saya kali ini benar-benar gak bisa, Pak."

Gue harus mundur, dan gue pikir, gue rela untuk melakukan itu.

Tapi ternyata jauh lebih sulit dari yang gue inginkan.

"Saya harus mundur kali ini."

"Kasih tau saya kenapa?" namun pertanyaan itu menggantung karena gue membiarkannya tanpa jawaban. "Yasa?"

Selalu begitu.

Selalu begini.

Gue selalu membiarkan orang lain menjadi sumber yang disalahkan di saat ini hanya tentang diri gue sendiri. Salah gue. Semua salah gue. Bukan salah orang lain.

"Bukan, Pak."

"Kalau Yasa, siapa lagi?" tapi Pak Santos tetap bersikeras. "Saya gak perlu sebutkan ke kamu satu per satu apa saja yang mengganggu saya selama ini tentang kamu, Tara. Semuanya jelas. Kamu banyak mengecewakan semenjak kamu lebih fokus dengan hubunganmu dan Yasa."

Gue ingin protes, namun tertahan

"Dan jelas Yasa tidak suka dengan profesimu... Dia selalu memonopoli apa yang harus perbuat setelahnya. Kamu harus begini, kamu harus begitu, dan akhirnya kamu jadi melengos sendiri dan tidak sesuai atura."

LukacitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang