Bagian 12

5.5K 350 28
                                    


By. Sylviana Mustofa

Pov : Yura

.

Aku menarik lutut lebih erat kemudian terisak sendiri di dalam kamar. Andai kau tahu Mas, aku juga merindukan setiap sentuhanmu, kasih sayangmu. Semua yang ada padamu aku rindu, Mas. Hanya saja saat kau mencumbuku terlintas wajah Ema dalam benak. Aku bahkan membayangkan kau melakukannya dengan Ema. Itulah mengapa aku berlari dan menjauhimu.

Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, aku masih meringkuk di bawah ranjang memikirkan pertemuan tak terdugaku dengan Mas Danu barusan. Air mataku sudah kering, kusandarkan kepala ke ranjang dan termenung. Kupejamkan mata dan mencoba meresapi sekali lagi rasa di saat Mas Danu memelukku dan menciumku. Aku terpenjara dalam siksa rindu, kurekatkan pelukan pada tubuhku sendiri. Lalu tubuh ini ambruk ke lantai. Aku meringkuk  lagi dalam posisi terbaring lalu kembali menangis hingga terlelap.

***

Sayup-sayup terdengar suara azan berkumandang, aku baru menyadari tertidur di lantai ini. Aku bangun dan segera membersihkan diri, kemudian melaksanakan salat subuh. Setelah selesai seperti biasa menunggu Ibu Nur di ruang tengah. Hari ini aku tidak akan berangkat ke cafe, aku ingin membantu Bik Nung membersihkan rumah. Bik nung asisten rumah tangga di sini, dia biasa datang jam 07.00 pagi pulang jam 05.00 sore.

Pintu terbuka, Ibu Nur tersenyum padaku. Dia mendekat setelah meletakkan kitab dan kaca mata.

“Ibu nggak lihat kamu di cafe semalem pas Ibu sampe sana? Kamu ke mana? Ibu juga denger kamu nangis meraung-raung di kamar. Lihat nih, matamu sembab,” ucap Ibu Nur sembari menunjuk ke aras mataku. Aku hanya tersenyum malu. “Kamu anggap Ibu siapa?” tanyanya yang membuatku bingung.
“Saya anggap Ibu sebagai Ibu kandung saya sendiri,” jawabku sembari mengambil punggung tangannya lalu menciumnya dan kutempelkan di pipi.

“Kalau begitu cerita sama Ibu.”

Aku menarisk napas panjang kemudian  menceritakan semuanya pada Ibu Nur. Dia mendengarkanku dengan seksama.

“Kamu juga tau suamimu itu nggak salah, kan? Perihal kamu melihatnya seperti bermesraan di rumah sakit, bisa saja kamu salah sangka. Karena terkadang apa yang di lihat oleh mata itu bisa saja salah.” Ibu Nur memberi nasehat.

“Iya, Bu. Tapi, saya merasa tidak pantas bersanding dengan Mas Danu, saya terlalu mencintainya sehingga saya ingin dia bahagia. Juga ada suatu rahasia yang belum saya katakan padanya yang membuatku susah memaafkan Papa mertua, Bu.”

“Apa? Kamu bisa membaginya dengan Ibu.” Seketika aku memeluk Ibu Nur, rahasia yang selama ini kusimpan kucurahkan padanya. Ibu Nur ikut terharu, air matanya meleleh deras.

“Ibu mengerti kau susah melupakannya, beri pengertian pada suamimu supaya dia tidak salah paham.”

“Bagaimanapun Papa adalah orang tua kandung Mas Danu, Bu. Dia pasti terluka jika tau yang sebenarnya.” Aku tergugu, menyandarkan kepalaku ke pangkuan Bu Nur. Dia membelai-belai kepalaku.

***

Tepat pukul 10.00 pagi, ada pesan WA masuk. Ternyata Hamzah memberi tahu kalau dia akan mempir ke rumah sekarang. Sedangkan Ibu Nur sudah pergi ke luar kota setelah sarapan pagi tadi, dia menginap selama satu minggu di sana. Aku beranjak dari ranjang kemudian menyambar jilbab instan berwarna hitam di balik pintu kamar.

“Bik tolong buatin teh manis ya, satu aja. Nanti tolong anter ke teras depan ,ya!” pintaku pada Bik Nung.

“Iya, Mbak,” jawabnya langsung berjalan ke dapur sedangkan aku menuju ke teras.

Aku tidak pernah mempersilakan Hamzah masuk kalau ia bertamu. Selain merasa tidak enak dengan Ibu Nur, aku juga merasa kalau diri ini masih istri Mas Danu. Sehingga aku harus menjaga kehormatanku sebagai seorang istri. 10 menit berlalu akhirnya Hamzah datang mengendarai motor gede.

Dua RanjangWhere stories live. Discover now