Bagian 4

6.1K 299 10
                                    

°Kebenaran terungkap°

    Pov: Yura

.

Setelah Mas Danu dan Ema pergi aku bergegas membereskan rumah. Hari ini aku akan membuat kue kesukaan Mas Danu. Dia sangat suka kue kering nastar. Aku biasa membuatnya di saat hari raya, tapi aku sedang ingin membahagiakannya sehingga akan kubuat kue itu hari ini juga.

Semenjak ada Ema aku memang jarang bicara. Berbagai macam spekulasi dan ketakutan menerpa. Bagaimana jika Ema nanti menyukai Mas Danu atau sebaliknya? Aku berusaha menepis anggapan itu, bukankah husnuzon lebih baik dari pada suudzon?

Dari pada berpikir macam-macam lebih baik aku mulai bergerak membuat kue keringnya. Kuambil tepung terigu  berprotein rendah lalu kumasukkan dalam mangkuk berwarna putih. Kemudian mengambil sebungkus mentega dan mengocoknya menggunakan mikser bersama gula dan kuning telur. Setelah tercampur rata kumasukkan sedikit demi sedikit tepung terigu dan susu bubuk full krim serta sejumput parutan keju.

Adonan tercampur rata, aku membentuknya sesuai selera tidak lupa mengisinya dengan selai nanas. Selesai, waktunya memanggang. Aku yakin Mas Danu pasti akan sangat senang mengetahui aku membuatkan kue kesukaannya.

Setelah semua selesai aku menyusunnya di toples dengan rapi. Segaris senyum menghias bibir, aku membawanya naik ke atas, lalu kuletakkan kue di atas meja kerja suamiku untuk menemaninya bekerja nanti malam.

Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, belum ada tanda-tanda kepulangan Mas Danu. Biasanya jam 4 sore dia pasti mengirim pesan dan memberitahu sebentar lagi akan pulang atau izin jika harus pulang malam. Aku terus memeriksa gawai di tangan berharap ada chat masuk darinya. Sayang hasilnya nihil, bahkan setelah aku shalat magrib Mas Danu belum juga pulang.

Kemana Ema? Mengapa dia juga belum pulang? Wajarkah jika aku berpikiran yang macam-macam tentang mereka? Ah, aku berusaha tetap berpikir positif, tapi entah mengapa aku gelisah.

Kuputuskan mengirim pesan.

[Assalamu'alaikum, Mas. Kenapa belum pulang?] send.

Kebetulan dia sedang aktif dan langsung membalas.

[Waalaikumsalam, Sayang. Tadi udah mau pulang kebetulan bertemu Ema sehingga mengantar dia ke rumah sakit dulu untuk menjenguk adiknya. Sayang lagi apa? ]

Susahnya memiliki pria yang berhati malaikat. Aku harus sabar, bukankah Ema memang sedang menjenguk adiknya yang sedang sakit. Aku berusaha mengendalikan perasaan. Karena seharusnya sekarang Mas Danu sudah bersamaku.
Bukan di luar sana bersama perempuan lain.

Detik, menit, berlalu. Mas Danu tak kunjung datang. Gontai kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Untuk kesekian kalinya aku mandi, menyiram tubuh dengan air hangat dan menumpahkan air mata. Ya, aku memang tidak lagi tersiksa dengan kata-kata pedas Papa, tapi kini aku tersiksa dengan sesuatu yang lebih menghujam. Sakit yang tidak berdarah.

Suara Deru mobil Mas Danu terdengar berhenti di garasi. Setelah beberapa menit terdengar dia membuka pintu kamar. Aku menghentikan kegiatanku membersihkan diri. Masih menggunakan handuk yang terlilit aku melangkah keluar kamar. Mas Danu sedang duduk di sisi ranjang, melepas dasi dan kancing baju bagian lehernya.

"Sayang," panggilnya lembut dengan senyum hangat seperti biasa. Aku diam saja, melangkah mendekat dan melepas handuk tepat di hadapannya. Tanpa pikir panjang aku langsung menghambur memeluk dan menciumnya. Mas Danu tampak sedikit kaget, ini tidak seperti biasanya.

Aku termasuk slow soal urusan ranjang. Tidak banyak menuntut dan tetap anteng kalaupun Mas Danu tak meminta. Entah mengapa aku merasa kini harus lebih agresif untuk menjaga Mas Danu tetap mencintaiku. Terjadilah malam yang panjang. Dimana dua insan yang seolah lama tak memadu kasih di pertemukan.

Dua RanjangWhere stories live. Discover now