Bagian 8

6.6K 347 25
                                    

Pov:  Danu
.

Aku berusaha mengendalikan diriku meskipun hasrat ini sudah seperti merajai jiwaku. Ema mendekat dengan mata basah. Dia memasrahkan dirinya padaku. Tidak ada yang salah, karena dia istri yang sah menurut hukum agama dan negara. Yang salah adalah pernikahan kami.

"Mas, perlakukan aku sebagai istrimu malam ini saja. Untuk menuntaskan kegelisahan hatimu." Gadis ini mendekat duduk di hadapanku dan mungkin pasrah dengan apapun yang akan aku lakukan.

Aku masih berusaha berpikir waras, bayangan wajah Yura terus membayang dalam pikiran.

"Argghhh!" Aku mengerang menahan gejolak dalam dada.

Aku duduk membelakangi Ema, kemudian menjambak rambutku sendiri kuat-kuat.

"Mas, kumohon jangan siksa diri mas sendiri seperti itu. Aku... Ikhlas Mas, aku tidak mau melihat Mas tersiksa," ucapnya.

Aku mendekatinya, menatap wajahnya secara nanar kemudian meletakkan telapak tanganku di atas kepalanya.

"Demi Allah, kau berhak bahagia, Dek. Aku tidak berhak merebut kesucianmu tanpa ada rasa cinta di hatiku. Pria yang mencintaimu kelak lebih berhak mendapatkan nya," lirih bibirku bicara diiringi getaran hebat karena aku masih berusaha menahan semuanya.

Ema membuka matanya yang basah, dia menatap tidak mengerti. Aku mendekat dan mengecup keningnya lama, lalu menarik mukena yang sempat kubuka tadi yang terletak di atas ranjang. Kembali ku pakaian ke kepala Ema.

Wajahnya berubah pias melihat sikapku. Kemudian aku berdiri dan jalan terhuyung berusaha keluar kamar. Berpegangan dinding untuk naik ke atas.

"Mas, apa kau menolakku?" ucap Ema lirih di iringi isak tangis.

"Maafkan, Mas. Suami yang mencintaimu kelak lebih berhak mendapatkan semua itu." lagi tertatih aku berjalan keluar kamar kemudian naik ke kamar atas dengan perjuangan yang tidak mudah.

Sampai di atas aku langsung menuju kamar mandi dan menyiram tubuhku dengan air dingin. Semoga otakku sadar setelah mandi. Dua jam aku berada di sini. Sambil push up dan melakukan apa saja yang bisa membuat hasratku tenggelam.

"Astagfirullah ... Astagfirullah... Astagfirullah ..." Tak jemu kuucapkan istighfar itu sambil memijat kepala.

Setelah semua kembali normal aku langsung mengambil wudhu untuk shalat Isya. Keluar kamar mandi, memakai baju koko dan membentang sajadah.

Kuadukan seluruh keluh kesahku pada yang di atas. Mohon ampunan karena selama ini sempat hilang pegangan hiduo karena terlalu kecewa dengan yang kujalani sekarang.

Tidak lupa ku lantunkan doa untuk kesehatan dan kebahagiaan di manapun istri tercintaku berada. Semoga dia masih menyimpan rasa cinta dan rindu di hatinya buatku.

***

Pagi-pagi sekali aku akan berangkat ke kantor. Kubawa semua pakaian yang masih ada di rumah. Terlihat Ema sudah duduk menyiapkan sarapan di meja makan. Wajahnya menunduk. Aku tau pasti ada yang berbeda dengan keakraban kami setelah kejadian semalam.

Aku berusaha bersikap biasa saja. Menggeret koperku dan meletakkannya di ruang keluarga kemudian duduk di kursi meja makan di sampingnya.

"Dek, kenapa nggak di makan? Wah baunya wangi, pasti enak nih!" Aku mengambil nasi uduk yang di taburi bawang goreng dan potongan telor dadar di atasnya. Ema hanya diam, sesekali menarik napas berat.

"Mas," panggilnya.

"Emmm?" jawabku karena mulut penuh dengan makanan.

"Aku, aku minta maaf karena... "

Dua RanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang