"Aku enggak bisa!" Naswa berkilah seraya tersenyum.

"Oh, enggak bisa?! Sini aku ajarin!"

Tanpa ragu Aji menarik tangan Naswa. Kini tubuh keduanya saling berimpit. Bahkan mereka mampu merasakan embusan napas masing-masing.

Jantung Naswa kembali beraksi dan membuat wanita itu menunduk. Takut jika ia mendongak maka netranya akan bersirobok dengan Aji. Pastinya, ia akan semakin salang tingkah jika hal tersebut terjadi.

"Nas, jangan menunduk. Nanti ada yang jatuh."

Naswa mendongak seraya mengerutkan dahi. "Apanya yang jatuh?"

"Mahkotamu nanti jatuh. Kamu itu Tuan Putri." Aji berkata seraya menatap lekat netra Naswa.

Sekarang dapat terlihat sebuah rona merah di pipi Naswa. Wanita itu berusaha menahan senyum dan membuang muka. Membuat Aji semakin gemas.

"Kalau mau senyum, senyum saja, Tuan Putri!"

"Aku enggak tersenyum." Naswa berusaha menyembunyikan senyumnya.

"Yakin?!"

Naswa mengangguk, tetapi kemudian ia mematung. Satu detik tanpa tanda apa pun, Aji telah bergerak. Mencium puncak kepalanya yang tertutup jilbab.

"Loh, Nas, kenapa pipimu merah? Ini baru pucuk kepala, ya! Belum lainnya."

Naswa mencubit lengan Aji dengan sedikit keras. Lelaki itu tentu saja mengaduh karena rasa sakit, tetapi juga bahagia yang kini dirasa. Begitulah pagi perdana yang mereka lalui dengan kebahagiaan sederhana.

***

"Nas, jangan terlalu ke belakang duduknya!" titah Aji seraya melirik spion.

Naswa hanya diam dan lebih memilih pura-pura tuli. Ia masih kesal dengan Aji perihal kejadian pagi tadi. Namun, tidak mampu dipungkiri, ia juga merasa bahagia.

Aji menghela napas. Setidaknya ia sudah mengerti kepribadian Naswa. Wanita itu akan diam saat kemarahannya memuncak.

Sebuah ide jail melintas saat Aji menemukan polisi tidur di hadapan. Lelaki itu menambah kecepatan kemudian menarik rem dengan tiba-tiba. Seperti taktik anak muda pada zamannya.

Naswa terkejut hampir terjengkang jika ia tidak melingkarkan tangan di pinggang Aji. Keduanya sama-sama diam dan merasakan hal yang berbeda. Mereka sama-sama kaku untuk sekadar bergerak.

"Nyaman, kan?!"

Baru saja, Naswa ingin menikmati suasana romantis yang tercipta. Namun, sifat jail Aji membuat semua buyar seketika. Tanpa menjawab pertanyaan suaminya, wanita itu melepaskan pelukan tadi.

"Enggak nyaman. Salah siapa tadi ngerem mendadak?!" Naswa berkata ketus.

Aji tersenyum dibuatnya. Sifat Naswa memang unik. Terkadang judes, tetapi terkadang juga manis. Entah kejutan apalagi yang akan dilalui keduanya nanti.

***

"Aku berangkat. Assalamualaikum." Naswa berkata seraya menyerahkan helm.

"Tunggu, Nas! Ada yang ketinggalan."

Naswa yang sudah dua langkah menjauh kembali mendekat. Wanita itu menatap Aji dengan pandangan bingung. Lalu, ia berusaha mencari apa yang terjatuh atau ketinggalan.

"Enggak ada yang ketinggalan." Naswa berkata seraya menatap Aji.

"Ada. Ini!"

Aji berucap sembari menyodorkan tangannya. Lelaki itu tersenyum tengil dan memandang Naswa yang masih bingung. Entah mengapa tiba-tiba, ia ingat kebiasaan kedua orang tuanya.

"Cium tangan, dong! Aku suamimu, Nanas Sayang!"

Rasa kesal yang tadi sudah menguar kini kembali menghampiri. Perlahan Naswa mengembuskan napas panjang. Wanita itu ragu-ragu untuk mencium tangan Aji.

"Oke. Assalamualaikum," ujar Naswa seraya mencium punggung tangan Aji.

Tanpa mendengan jawaban dari Aji, Naswa berlari menuju kantor. Lelaki itu tersenyum seraya memandangi punggung tangannya. Untuk kesekian kali, hatinya kembali berdesir.

***

"Tunggu!" Anti menghadang Naswa dengan netra berkilat.

"Ada apa?" Naswa bertanya seraya menatap sahabatnya.

"Tadi yang kamu salamin siapa? Aku curiga, apa kamu ... punya pacar?"

Naswa tersenyum sejenak. Membiarkan sahabatnya itu menduga-duga. Aji, memang seperti pacar halal baginya.

"Iya, pacar halal, Ti!"

Anti terbelalak dan berusaha mencerna apa yang diucapkan Naswa. Ia pernah mendengar bahwa pacaran itu haram. Lalu, kenapa sahabatnya berkata bahwa lelaki itu pacar halalnya.

"Apa?! Pacar halal?"

"Dia ... suamiku."

Ada rasa panas yang menjalari pipi Naswa. Wanita itu tidak pernah menyangka akan menyadang gelar sebagai istri. Apalagi, suaminya adalah sahabat lama dulu. Ternyata takdir memang tidak pernah bisa diduga.

Tbc.

Bukan Gadis Lagi (Completed) [TERBIT]Where stories live. Discover now