"Tadinya gue mau bangunin, sih. Cuman kasian. Kemarin dia abis nyobain nge-aransemen lagu sampe begadang gitu gais. Kasian adek gue."

Tiba-tiba muncul notifikasi. Baterai ponsel Jisung tersisa satu persen lagi. Ia cepat-cepat menonton akhir dari vlog tersebut sebelum ponselnya mati.

"Goodbye Jisung! Gue sekolah dulu ya.."

Lalu, ponsel Jisung mati.

***

Wanita itu duduk di atas kursi tunggu, depan ICU. Dia menyelipkan rambut ke telinganya. Ini sudah pukul sebelas malam. Namun ia belum berkeinginan untuk pulang ke rumahnya. Seohyun memilih untuk tetap disini sampai rasa kantuk menghampirinya.

Jungwoo tadi menawari akan mengantar Seohyun pulang. Tetapi Seohyun menolaknya secara halus. Ia mengatakan ingin menemani Hyunjin sebentar lagi. Jungwoo mengerti.

Terdengar derap langkah kaki yang sedikit rusuh dari ujung lorong. Seohyun menoleh. Mendapati Jae tengah berlari semampunya. Ia berhenti tepat di depan pintu ICU. Mengintip kedalam, lalu menghembuskan nafasnya dengan kasar.

"Saya terlambat lagi." Ujarnya kecewa setelah melihat tirai hijau itu lagi-lagi telah menutupi ranjang Hyunjin.

Jae mundur perlahan. Kemudian ikut duduk di samping Seohyun. Jarak yang memisahkan antar keduanya adalah rasa canggung. Keegoisan untuk memulai pembicaraan. Rasa angkuh yang membuat kedua manusia itu enggan saling menyapa.

Jae membungkukkan tubuhnya. Dia duduk tepat di sebelah kanan Seohyun. Jae memainkan jemarinya sambil sesekali berdecak.

"Saya kira kamu nggak pernah datang kesini." Ucap Seohyun, mulai berani membuka pembicaraan.

"Saya datang setiap hari. Setiap pulang dari kantor. Tapi selalu larut. Jadi saya nggak pernah dapat izin untuk masuk ke dalam."

Seohyun mengerutkan keningnya. Dia tahu dimana Jae bekerja. Letak kantornya sangat jauh dari rumah sakit ini. Dua jam dengan perjalanan menggunakan mobil. Dan dia datang setiap malam? Benarkah?

Lalu, keduanya kembali membatu. Seohyun belum ingin pulang. Jae juga sudah terbiasa sampai di rumahnya dini hari. Dia tidak akan pulang secepat ini meski tidak mampu melihat Hyunjin.

Seohyun memperhatikan jemari Jae. Matanya terbelalak. Apa yang dilihatnya itu benar?

Jae masih memakai cincin pernikahan mereka. Di jari manis. Berbeda dengan Seohyun yang sudah membuang cincin itu sejak jauh hari.

"Harusnya kamu nggak pergi ke Gangnam untuk bermalam dengan Chayoon kala itu. Kalau itu nggak terjadi, maka hari ini kita bisa berjuang sama-sama untuk putra kita. Seperti dulu lagi. Hyunjin marah sewaktu tau kita cerai, Jae. Dia nggak mau makan apapun sampai tubuhnya drop." Tiba-tiba saja Seohyun berterus terang. Mengutarakan isi hatinya yang sudah lama dipendam sendirian. Sekarang, Seohyun tidak lagi takut.

Jae membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegak. "Harusnya kamu menyimpan ponsel kamu baik-baik, Seohyun-ssi. Jadi saya nggak akan lihat pesan mesra yang kamu dan Jungwoo saling kirimkan. Kalau itu nggak terjadi, saya nggak akan pergi ke Gangnam. Saya sama kamu bisa berjuang sama-sama untuk putra kita meski itu berpura-pura." Jae tak ingin kalah. Dia ikut menyuarakan beban batinnya yang selama ini tak pernah ia katakan.

"Saya sama Jungwoo itu teman masa kecil. Kamu terlalu posesif." Seohyun memang merasa terkekang oleh Jae selama mereka menikah.

"Iya. Saya terlalu posesif karna saya sangat cemburu. Sayangnya saya ke kamu nggak main-main. Saya masih ingat rasa sakit hatinya sewaktu saya buka gawai kamu pagi hari, dan Jungwoo berkali-kali menelepon lalu mengirim pesan bahwa dia akan mejemput kamu untuk makan malam bersama. Hanya berdua. Saya kecewa, Seohyun-ssi. Kepercayaan yang sudah saya bangun selama ini kamu runtuhkan begitu saja. Dan jujur, saya selalu rindu kopi pahit buatan kamu."

Grow Up [ ✓ ]Where stories live. Discover now