0:4

1.1K 149 80
                                    

Penat akan rutinitas kerap kali merayu diri agar mangkir terhadap embanan kewajiban.

Barangkali, mengaburkan presensi, untuk sekadar mengistirahatkan tubuh di atas empuknya tilam, terdengar cukup menggiurkan.

Namun sepertinya, perkara demikian tidaklah mangkus untuk menggoyahkan semangat seorang dokter magang, yang kini tengah memeriksa pasiennya dengan penuh ketelatenan.

Dia mengabaikan rasa lelah yang menghujani sekujur tubuh. Bibir penuh itu pun tak berhenti mengulas senyum tulus, di setiap perjumpaannya dengan pasien.

Kim Seokjin melakukan tugasnya dengan sangat baik. Tentu saja.

“Terima kasih, Dok,” ujar wanita paruh baya yang baru saja selesai diperiksa.

Seokjin lantas mengangguk seraya menyematkan senyum terbaik pada paras rupawannya. Lantas menjawab dengan intonasi lembut—yang enak didengar.

“Sama-sama, Bu. Jangan lupa untuk meminum habis obatnya. Semoga Ibu lekas diberi kesembuhan.”

Wanita itu balas mengangguk dan tidak lupa pula menarik sudut bibirnya, yang mana turut serta menciptakan kerutan samar pada kulit pipi.

“Mari,” pamit si pasien.

“Ah, iya. Silakan. Hati-hati di jalan,” balas Seokjin ramah.

Napas lega terembus pelan dari kedua penghidu tatkala tidak ada lagi pasien yang hendak diperiksa. Si Kim lantas menengok jam di pergelangan tangan. Ah, sudah masuk waktu istirahat, ternyata.

Jadi, Seokjin lekas merapikan peralatan yang berserakan agar lebih enak dipandang.

Merenggangkan persendian yang rasa-rasanya nyaris copot dari sarangnya, Kim Seokjin tetiba mendengar ketukan pintu—yang mana menandakan adanya presensi lain di balik pembatas ruangan bercat putih tulang itu.

“Masuk,” ucap pria pemilik bahu lebar itu.

Paras ayu yang acap kali mampir dalam delusi, sewaktu alam bawah sadar tengah berkuasa penuh atas kesadarannya itu, menjadi sosok yang pertama menyambut netra.

Sebelum akhirnya, datang presensi lain yang mengikuti tapakan anggun si gadis.

“Hai, Kim Seokjin. Kita berjumpa, lagi,” sapa gadis itu riang.

Seokjin hanya mampu mengangguk kikuk. Apalagi sewaktu arah pandang tidak sengaja bersirobok dengan pria berpenampilan necis, yang kini tengah merangkul mesra gadisnya.

Kim Seokjin benar-benar merasa kecil di sini—di hadapan mereka.

Pria dengan balutan serba putih itu lantas menjawab gamang, “A-ah, i-iya. Eum … mari duduk dulu.”

“Eum, maaf, Jin. Kami tidak akan lama di sini. Kedatangan kami hanya untuk mengantar undangan ini,” jawab dara itu seraya menyerahkan selembar kertas yang Seokjin yakini adalah undangan yang dimaksud.

Kernyitan dalam sekedip mata terlukis apik di dahi, kendati jemarinya tetap menerima sodoran tersebut.

“Undangan?” tanya Seokjin gamam.

Kim Seokjin tidak dapat berhenti mengumpat dalam hati, pada kebodohan diri lantaran mengikuti ego—atas kuriositas yang membumbung kepalang tinggi—tanpa memikirkan jika hati yang akan menerima torehan luka tanpa bekas, tapi rasanya kelewat getir untuk sekadar dicecap itu, tatkala bukaan labium pada cakapan si gadis mengudara.

Seiring dengan lenyapnya segala harap yang sempat hinggap pada palung hati seorang Kim Seokjin.

“Iya, benar. Undangan. Lebih tepatnya, undangan pernikahan kami. Datanglah jika memang sempat. Aku akan sangat senang jika kau turut serta menghadiri pesta kami.” []

First and Last ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang