"Kenapa?" Tanya Arman.

"Albern membersihkan pecahannya dengan tangan. Alvian dan Alden sudah bilang agar aku membersihkannya dengan sapu saja tapi, aku memakai tanganku. Aku tidak berhati-hati, daddy,"

Arman menghela kecil. Dia berjongkok dan memanggil dua anaknya yang lain untuk mendekat. Arman memeluk mereka bertiga.

"Terima kasih sudah jujur pada daddy," ujar Arman.

"Maaf, daddy..." ujar Alden.

Arman melepas pelukannya dan mengulurkan tangan untuk mengacak puncak kepala Alden.

"Jangan menangis! Daddy tidak marah. Daddy hanya khawatir. Daddy pikir sesuatu yang sangat buruk terjadi pada kakak,"

Alden memeluk leher Arman dengan cepat. Dia menangis dan Arman mengusap punggung putranya.

"Jangan main yang berbahaya, okey?"

Alden mengangguk.

"Sudah. Jangan menangis lagi! Ayo kita naik ke atas dan mengganti pakaian!" Ajak Arman.

"Daddy... kenapa hari ini daddy pulang cepat?" Tanya Alvian.

"Daddy mau mengajak kalian jalan-jalan. Tapi, kakak sedang sakit. Besok saja kita jalan-jalannya, okey?"

Albern dan kedua adiknya mengangguk. Arman membiarkan ketiga anak itu mengganti pakaian mereka. Lalu, Arman memilih mengambil kotak obat dan kembali ke kamar putranya. Arman duduk di atas karpet di dekat ranjang Albern. Saat Albern kembali, Arman tersenyum kecil dan meminta Albern mendekat.

Arman membersihkan luka Albern dan mengobati luka itu kembali. Meski dia melakukannya dengan perlahan, Albern tetap meringis kesakitan. Melihat luka yang lumayan besar itu membuat Arman ragu. Apakah benar ini hanya karena pecahan kaca?

"Albern,"

"Ya, daddy?"

"Apa benar ini hanya karena pecahan kaca?"

Albern mengangguk.

"Albern tidak sedang berbohong pada daddy, kan?"

Albern menggeleng.

"Kenapa lukanya besar begini?"

"Itu karena saat Albern mengangkat pecahan kaca, ada anak yang berlari ke arah Albern. Dia tidak sengaja menabrak Albern jadi, kacanya menancap di lengan Albern,"

Arman menghela kecil. Selesai mengobati luka di lengan Albern, Arman mengajak anak itu tidur siang, menyusul kedua adiknya yang sudah terlelap.

"Lain kali hati-hati, ya kak. Jangan buat daddy dan mommy khawatir lagi!"

Albern mengangguk. Arman mencium kening putranya dan mengucapkan permohonan agar putranya bermimpi indah. Setelah ketiga anaknya terlelap, Arman keluar dan menghampiri istrinya.

"Apa kamu tahu apa yang terjadi pada Albern?" Tanya Arman sambil mendudukkan diri di atas ranjang.

"Tidak. Anak-anak belum sempat bilang,"

Arman menghela kecil. Natasha yang sedang menyusun beberapa pakaian yang baru disetrika itu, langsung berhenti dan menghampiri Arman. Natasha menaikki tempat tidur mereka dan memeluk leher Arman.

"Mereka akan baik-baik saja. Penjagaan yang kamu berikan sudah lebih dari cukup,"

Arman diam. Dia hanya mengusap lengan Natasha yang melingkari lehernya. Arman juga mengecup lengan itu beberapa kali.

"Aku takut,"

"Mereka akan baik-baik saja. Itu yang kamu janjikan padaku,"

Arman menghela kecil.

"Aku memang menjanjikannya. Tapi, aku juga takut. Saingan bisnisku terlalu banyak,"

"Aku tahu. Hanya saja, anak-anak sudah berada dalam penjagaan ketat darimu,"

Arman melepaskan pelukan istrinya dan menarik sang istri sambil dia membaringkan badannya.

"Anak-anak sedang tidur,"

"Lalu?"

"Bagaimana kalau kita membuat anak perempuan yang lucu dan cantik?"

Natasha memukul pelan lengan Arman. Arman dan Natasha terkekeh bersama. Siang itu kamar Arman dipenuhi oleh suasana romantis sementara ketiga jagoan mereka terlelap di kamar mereka dengan nyaman.

......

"Al..." Natasha berteriak memanggil ketiga putranya. Ketiga anak itu berlarian turun.

"Jangan berlari!" Ujar Arman sambil membantu istrinya meletakan piring berisi sayur ke atas meja.

"Alvian mau duduk dekat daddy!" Pekik Alvian.

"No! Aku yang duduk dekat daddy!" Alden menyahuti kakak kembarnya itu dengan cepat.

"Aku!"

"Aku!"

Perdebatan panjang itu diakhiri dengan Alden yang duduk di sisi kanan Arman dan Alvian di sisi kirinya. Natasha dan Albern memilih duduk di kursi lain yang masih kosong.

"Vian dan Alden. Jangan berdebat lagi! Ayo, makan!" Ajak Arman.

Makan malam itu berlalu dengan damai. Usai memakan makan malam mereka, Arman membantu ketiga putranya mandi dan dia juga mengobati luka Albern. Arman menemani ketiga anak itu mengerjakan tugas rumah mereka. Arman mengajari anak-anaknya dan memeriksa tugas mereka. Selesai belajar, mereka merapikan buku yang harus mereka bawa besok dan langsung naik ke tempat tidur mereka masing-masing.

Arman mengecup kening anak-anaknya dengan sayang sambil mengucapkan "selamat malam" dan "mimpi indah" pada ketiga anaknya. Natasha juga melakukan hal yang sama. Dia mengecup kening anak-anaknya dan mengucapkan hal yang sama seperti yang Arman ucapkan. Natasha juga merapikan selimut anak-anaknya. Dia dan Arman menemani sampai ketiga anak itu terlelap pulas.

"Mereka sangat tampan. Sama sepertimu," ujar Natasha dengan berbisik.

"Mereka juga sangat menggemaskan sepertimu," ujar Arman.

Arman dan Natasha keluar dan menutup pintu kamar dengan perlahan. Setelah itu, Arman mengajak istrinya untuk menyusul anak-anak mereka ke alam mimpi. Jam sembilan malam, keluarga kecil itu sudah terlelap. Namun, ketika empat dari lima orang di rumah itu terlelap dengan nyenyak, satu orang justru tidak bisa terlelap pulas.

Dia tidur dengan gelisah. Keringat membasahi keningnya yang sudah mengerut dalam. Dia bahkan mencengkram selimutnya dengan erat. Sampai tarikan napas yang cukup kuat itu menghantarkannya kembali ke alam nyata dengan tubuh terlonjak.

"Astaga!" Desisnya.

Dia mengusap keringatnya dan menoleh ke sisinya. Wajah cantik nan ayu itu masih terlelap dengan nyaman. Dia turun dari ranjangnya dan melangkah menuju kamar anak-anaknya. Dia menghampiri anak sulungnya dan duduk di sisi ranjang anak itu. Tangannya terulur untuk mengusap rambut cokelat gelap anak itu dengan sayang.

"Albern..." panggilnya berbisik.

"Sehat-sehat ya nak. Jangan terluka lagi! Daddy takut," ujarnya berbisik sambil mengusap pipi putranya.

Dia memandangi wajah putranya yang tengah terlelap itu. Hidung kecil dan mancung, alis tebal berwarna cokelat gelap dan bibir mungilnya yang berwarna pink itu membuatnya betah memandangi wajah putranya yang kebanyakan orang bilang mirip dengan dirinya. Ketika Albern mengerang, dia segera menenangkan anak itu dengan desisan halusnya.

Tangannya mengusap perlahan punggung tangan putranya. Dia mengecup punggung tangan mungil itu dengan hati-hati. Matanya menatap ke arah perban yang membalut luka di lengan putranya.

"Jangan terluka lagi, Albern! Daddy takut. Daddy tidak mau hal itu terjadi lagi padamu,"

[DS#2] Between Me, You and WorkWhere stories live. Discover now