Tiga temen gue udah nangkring depan layar yang selalu Fahmi sediakan kalau ada pertandingan liga Inggris.

"Woi, roma-romanya ada yang bakal naik jabatan nih!" Si empunya tempat nyapa gue duluan. Gue ngajak tos ke Fahmi sambil mendengkus.

"Roma-romanya di Italia," celetuk Galih. Si calon papa yang sulit banget kalau diajak nongkrong kayak gini. Alasannya cuma satu, kasihan istri gue sendirian di apartemen.

"Naik jabatan gundulmu! Saham gue bakal dicoret kalau gue gak nikah tahun ini. Gila gak tuh!" Gue duduk setelah mengajak tos ketiga sahabat gue.

"Wah, gue setuju tuh sama bokap lo," sahut Anwar.

"Bantu gue nyari bini," cetus gue yang bikin ketiga sahabat gue melongo menatap gue.

Galih mengupas kacang rebus. Sebelum menjawab ucapan gue dengan kalimat yang menohok. "Nyari istri aja udah kayak gotong royong. Nyari sendiri lah, Nu. Mangkal tiap malam di hotel aja lo bisa masa nyari calon bini gak bisa."

"Nah itu. Ambil aja tuh salah satu temen ONS lo."

"Gila! Gue juga punya otak kali. Gue pengin yang berkualitas. Yang masih ting-ting," soloroh gue gak terima dengan ucapan Fahmi.

"Jodoh itu cerminan diri lo. Lo gak usah minta yang tinggi-tinggi takutnya gak dapet. Lagian lo udah gak perjaka, Nu. Ya cocok-cocok aja sama yang bukan perawan."

"Sialan!" Gue melempar kulit kacang ke wajah Fahmi. Gue terpojok. Gak ada satu pun dari mereka yang ada di kubu gue. Semua berpihak pada bokap.

"Si Galih bisa dapetin perawan," cetus gue yang langsung mendapat toyoran keras dari Galih

"Karena nasib dan takdir gue selalu selangkah lebih maju dari lo, Nu," jawabnya percaya diri.

Gue ambil gelas minuman secara random di atas meja. Entah itu minuman siapa, yang jelas tenggorokan gue lagi kering dan butuh yang dingin-dingin.

"Lo gak usah banding-bandingin nasib, Gal. Lo juga dulu ngemis-ngemis minta maaf sama Nana. Lo gak inget waktu lo hampir salah nyebut nama pas ijab kabul? Lo pikir Nana gak sakit hati karena mulut sampah lo itu."

"Gooooooolll!"

Gue mingkem saat sebagian dari pengunjung di Warhal bersorak merayakan gol dari Chelsea. Galih teriak paling kencang karena Chelsea adalah tim kesayangannya. Sedangkan Anwar terduduk lesu melihat tim kesayangannya yang sama kayak gue sementara ini tertinggal 1-0.

"Anjir! Lo anggap gue radio butut, Gal!" Gue hampir berteriak di telinganya.

"Apaan sih, Nu? Itu gol. Chelsea unggul 1-0," katanya dengan nada meledek.

"Bentar lagi Liverpool ngebalas kok. Liatin aja," sahut Anwar.

"Jadi gimana, Nu?" Fahmi mulai mengarahkan obrolan kembali ke gue.

"Gak gimana-gimana! Ya bantuin gue mikir, Somat!"

Dua dari tiga sahabat gue kayaknya lagi mikir nih. Sedangkan Galih fokus menonton pertandingan yang hanya menyisakan waktu lima belas menit lagi sebelum istirahat babak pertama.

Di saat gue lagi bingung harus cari calon istri di mana, sahabat gue yang lain baru muncul dengan setelan kasual. T-shirt putih polos pendek dipadukan dengan celana denim pendek. Ia melakukan apa yang gue lakukan tadi. Mengajak tos ke sahabat-sahabatnya juga.

"Udah pada lama nih?" tanya Dipo setelah ia menyeret kursi kosong di meja sebelah.

"45 menit kira-kira," jawab gue.

Dipo menoleh ke arah layar proyektor. "Liverpool menang, Nu?"

"Ketinggalan 1-0. Nanti babak kedua juga epic comeback."

Pasutri KampretWhere stories live. Discover now