Bab 33 : Khitbah (1)

5K 201 10
                                    

"Apa jawaban Meesha?" tanya Abi penasaran.

Sebelum Arzan menjawab, Najwa datang dari arah dalam membawa minuman beserta beberapa cemilan dalam toples di atas nampan. Senyum terukir indah di bibirnya. Setelah menyajikannya, Najwa pun turut duduk di sisi umi. Arzan tersenyum dan mulai membuka mulut untuk menjawab.

"Sebelum saya kembali ke Jepang, saya menemui Meesha dan membicarakan sesuatu ...."

"Apa ini?" tanya Meesha menimang-nimang amplop itu. Belum berani untuk membukanya. Tak ada tulisan apa pun di sana, polos.

"CV."

"CV?" gumam Meesha makin tak mengerti.

"Aku tahu, perjodohan yang dirancang orang tua kita terpaksa aku batalkan. Namun, kini, aku ingin memulainya dari awal. Mulai dari yang benar-benar benar."

Meesha diam, masih menunggu apa yang akan dikatakan Arzan selanjutnya. Bingung dan kegamangan menjadi satu dalam dirinya. Ia tak mengerti.

Arzan mengalihkan tatapan ke arah vas bunga di mejanya. Sesekali, ia terlihat berpikir. Menimbang apakah ia harus mengutarakan sekarang atau tidak sama sekali.

"Aku ingin mengajakmu ta'aruf, sayangnya, seharusnya aku membutuhkan perantara di sini."

Seutas senyum terukir di bibir Meesha.

"Aku akan mengkhitbahmu secepatnya jika memang kamu menerima ta'aruf dariku dan berniat melanjutkan. Terlepas dari masalah-perjodohan-kedua orang tua kita."

"Apa aku punya waktu untuk memikirkannya?"

"Kamu boleh memanfaatkan sebanyak apa pun waktumu untuk memikirkan hal ini." Arzan menunduk dan merogoh saku celana kainnya.

Sebuah kotak kecil berwarna hitam kini ada di hadapan Meesha.

"Kamu ingin pesan apa?"

Meesha menggeleng. "Aku siam."

"Baiklah, pakailah cincin itu di jari manis tangan kiri. Bukan sebagai bentuk keterikatan kamu adalah calonku, bukan! Kamu berhak menjualnya atau memberikannya pada siapa pun. Aku tak akan mempermasalahkan hal itu. Aku ikhlas memberikan itu. Jika kamu memang benar-benar menerimaku, ta'aruf-ku, pakailah cincin itu di jari manis tangan kanan. Jika tidak, tetap pakailah di tangan kiri."

"Meesha memakai cincin yang saya berikan padanya di tangan kanan, Abi," pungkas Arzan.

"Jadi begitu ...," Abi mengelus dagunya sembari memperhatikan Arzan dan tersenyum bijak. "Ada hal yang harus Abi pertimbangkan. Bukan karena kamu putra dari sahabat Abi, tapi, Abi ingin meyakinkan diri Abi kalau kamu layak untuk Meesha. Abi sebagai ayah Meesha menginginkan yang terbaik dari yang terbaik."

"Baik Abi, Arzan mengerti." Arzan mengangguk penuh pemahaman.

"Silakan diminum dan dicicipi kuenya, Mas. Buatan tangan calon istri," goda Najwa.

Arzan tersenyum dan mengangguk menanggapi. Dia ambil cangkir minumnya dan menghidu perlahan aroma teh yang menguar. Sedikit memberikan kelegaan untuk hatinya yang dilanda gugup luar biasa sedari berbincang dengan abi. Memang, ini adalah ketiga kalinya dia menemui Abi untuk mengkhitbah Meesha. Namun, rasa deg-degan itu selalu ada.

Memeluk Janji [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang