Chapter 19: Berjuang

4.7K 229 19
                                    

Lembayung oren menyemburat tajam menciptakan pemandangan begitu apik di mata Meesha. Kini, dia tengah berada di halaman belakang rumahnya. Rumahnya yang memang dekat dengan perbukitan membuatnya masih bisa merasakan udara segar di pagi ataupun sore hari. Pemandangan dari rumahnya pun tak kalah menawan saat-saat tertentu. Suara-suara dari hewan-hewan sekitar menambah suasana ramai di kala senja.

Bayu berkesiur membelai helai hijabnya, membuatnya meliuk menari-nari. Dalam hati, Meesha berdzikir atas keindahan yang dinikmati matanya. Tak akan lelah dia bersyukur dengan apa yang dia miliki sekarang. Tak hanya itu, sejauh apa pun dia melangkah, sesulit apa mala yang menderanya. Dia selalu punya Allah tempat mengadu dan berkeluh kesah. Belum habis senja di hadapannya, getaran di ponsel saku menghentikan sejenak kegiatannya.

Mengernyit heran, Meesha mencoba berpikir positif saat melihat nama orang tuanya di layar. Dia swipe layar gawainya kemudian, dia tempelkan gagdet itu ke telinga sebelah kanan.

"Assalamualaikum, Umi," sapa Meesha pertama kali.

"Wa'alaikumsalam," balas dari seberang.

"Ada apa, Umi?"

"Umi ingin memberitahumu, kalau Najwa semakin parah. Mau tidak mau kami membawanya ke rumah sakit bertemu psikiater."

Napas Meesha tersekat di tenggorokan. Sebagian hatinya merintih menahan rodan mendengarnya. Memejamkan mata sejenak, Meesha mencoba mengatur napasnya yang kini menderu dengan berbagai pikiran di kepala.

"Umi dan abi sudah merencanakan sesuatu untuk hal ini, tapi kami tak menyangka akan separah ini kejadiannya. Umi tidak tahu sampai kapan kamu harus di sana menghindari Najwa yang sewaktu-waktu mengamuk karena mengingatmu. Kami takut kamu mengalami hal tak mengenakkan jika pulang ke rumah."

"Aku ... mengerti, Umi." dengan suara serak dan bergetar, Meesha menjawab.

"Ya sudah. Umi hanya ingin memberitahu itu."

"Bagaimana kabar Umi dan Abi?"

"Umi dan Abi baik-baik saja, Nak."

Suara itu memang terdengar lembut dan halus di telinganya. Namun, dia tahu, dalam kondisi seperti ini, pikiran dan tubuh orang tuanya terkuras habis. Belum mengurus masalah di pondok, masih harus memikirkan Najwa adiknya. Ditambah, kini dia harus mengungsi.

"Permisi, Mbak Meesha, ada tamu," ucap Mbok Sum di belakangnya yang membuat Meesha terlonjak tak menyangka.

Sedangkan di seberang, umi mengernyit heran. Dalam benaknya berkecamuk pikiran-pikiran ruwet. Apalagi ditambah dengan fakta yang baru didengar telinganya. Membuatnya semakin menduga-duga situasi yang dihadapi putrinya. Mencoba mengusir pikiran negatifnya, umi bertanya, "itu siapa, Meesha?"

"Mbok Sum, Umi. Lain waktu, Meesha akan ceritakan. Saat ini, Meesha ada tamu. Meesha tutup dulu, Umi."

"Ya sudah. Wassalamu'alaikum," pungkas umi meski masih berat melepas karena belum mendapat penjelasan.

"Wa'alaikumsalam." Meesha menatap layar ponselnya yang kini menghitam beberapa detik setelah sambungan terputus. Menormalkan detak jantungnya yang berdegup sedikit di atas normal takut dia ketahuan, Meesha beranjak menemui siapa tamunya. Jujur, di sini tidak ada satu pun temannya yang tahu alamat rumah ini. Hanya Nita, itu pun baru dia beritahu tadi.

Langkahnya ragu-ragu, Meesha takut kalau-kalau yang datang bukan temannya dan berniat jahat. Namun, melihat Mbok Sum di dapur sedang membuatkan minum, Meesha mencoba meredam ketakutannya.

"Assalamualaikum," sapa sebuah suara garau di depannya. Meesha tertegun kala netranya menangkap sosok Arzan di rumahnya. Sepersekian detik, Meesha tak menjawab salam itu, hingga dia tersadar dan membalasnya. Menyilakan Arzan duduk yang ditanggapi gelengan oleh Arzan. Dahi Meesha berkerut bingung.

"Kita bicara di luar. Di teras." Tegas, Arzan berbicara tak ingin timbul fitnah.

Meesha tersengat kesadaran saat mendengarnya. Ya Tuhan, apa aku benar-benar telah jauh dari jalan-Mu? Hingga hal sekecil ini saja mindaku tak ingat. Batin Meesha mulai kembali nelangsa.

"Ayo!" ajak Arzan yang kini melangkah keluar ruangan.

Meesha mengikuti dari belakang dengan kepala tertunduk. Tak ingin melihat wajah Arzan.

"Ada apa Mas Arzan kemari? Dari mana Mas tahu alamat rumahku ini?"

"Aku hanya ingin mengajakmu untuk berkunjung ke pesantren. Menjenguk Najwa."

Meesha terdiam. Pikirannya tak habis pikir memikirkan ini. Buntu sekejap tak tahu apa yang harus dia lakukan.

Mbok Sum datang dengan nampan. Sedikit heran mengapa tamu-yang memperkenalkan diri sebagai Arzan itu, bersama Meesha berada di luar. Abai akan hal itu, Mbok Sum tetap mengantar dan menyiapkan minuman di sana. Setelah mempersilakan tamu itu minum, Mbok Sum beranjak memasuki rumah.

"Kamu tak bisa lari, Meesha."

Tergamam di tempatnya, sanubari Meesha berontak dicap melarikan diri. Dia tak melarikan diri, dia diasingkan oleh keluarganya sendiri. Tak terasa, netranya kini diselimuti saput bening. Mulai memanas dalam beberapa detik. Tenggorokannya mengering, tangan Meesha mencengkeram erat lengan kursi. Arzan pun melihat gestur tubuhnya.

Mengembuskan napas hingga terdengar puh kecil, Arzan kembali berucap, "aku tahu kamu diasingkan, tapi, tindakanmu itu lebih mirip melarikan diri. Bersembunyi dari masalah yang benar-benar nyata. Pasrah tak selalu menjadi pilihan tepat. Apa kamu mau Najwa membencimu untuk sebuah kesalahan yang sebenarnya tak kamu lakukan? Siapa di dunia ini yang bisa menebak sebuah hati? Kamu tahu isi hatiku, Meesha?"

Meesha menggeleng kecil sebagai jawaban.

"Lalu, apa ini salahmu jika hati Najwa terpaut padaku? Hati, tak ada yang tahu di mana dia akan berlabuh. Lambat laun, hati itu akan menemukan orang yang cocok dijadikan tempat berlabuh. Aku menyayangkan apa yang terjadi dengan adikmu. Rasa cintanya terhadap Allah masih jauh. Dia masih berpikir duniawi."

Tangan Meesha terkepal erat mendengarnya. Sungguh, perasaannya berkecamuk kini antara sedih, jeri, dan amarah. Bagaimana bisa Arzan memberikan pendapat demikian jika dia saja tak cukup dekat dengan adiknya.

"Tak perlu kedekatan hanya untuk menilai sesuatu. Mataku masih jeli untuk memandang sebuah mala besar di hadapanku. Aku tak mengindahkan, karena memang bukan kapasitasku. Namun, jika terus seperti ini. Seluruh pihak hanya akan tersakiti dan menanggung luka yang tak semestinya. Beban, huh, beban itu membayangi pikiran."

"Mas Arzan," panggil Meesha dengan suara menahan emosi dalam dirinya. Tubuhnya bergetar menahan luapan afeksi itu. "Kamu tahu, mulutmu adalah harimaumu. Kini, di luar ekspektasiku-"

"Untuk apa kamu marah dengan cena yang kuungkap? Bukankah itu benar?" potong Arzan tak membiarkan Meesha membela diri. Dia tahu, dia tak bermaksud untuk mendesak Meesha. Namun, bukan berarti itu tidak ada tujuannya. Dia ingin Meesha melangkah maju. Melangkah di jalan keberanian. Bukan bersembunyi seperti saat ini."

Meesha memejamkan mata mencoba mencerna kembali perkataan Arzan baik-baik. Belum sempat dia mencerna semua hal, sesuatu terjadi dengan hatinya. Yang semula dipenuhi dengan letupan-letupan magma kemarahan, kini bagai tersiram es, magma itu membeku seketika.

"Egois? Begitu menyebutnya?" tanya Arzan.

Telinganya sudah panas sedari tadi, tapi, entah kenapa. Apa yang dikatakan Arzan, begitu mengena dalam kalbunya, membuatnya sentiasa berpikir dan hanya kebuntuan yang dirasa. Ia harus melakukan sesuatu. Namun, melakukan apa?

To be continue

1031 words
Rabu, 15 Agustus 2018
02.48 AM

Memeluk Janji [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang