Chapter 8 - Ada Apa?

5.3K 248 16
                                    

❤❤❤

"Assalamualaikum," salam Meesha.

"Wa'alaikumsalam."

Terjadi keheningan. Baik si penelepon maupun Meesha sama-sama terdiam. Hingga embusan napas terdengar, dilanjutkan dengan sebuah ucapan.

"Lara ... Jika lara itu begitu menyiksamu, lepaskan! Jangan kamu rantai lara itu dalam hatimu."

Meesha terpaku di tempat saat telinganya mendengar perkataan laki-laki di seberang. 'Apakah selama ini aku tak berupaya melepaskan lara itu? Hingga begitu terlihat di matanya.' batin Meesha bertanya.

"Mata ... laksana sebuah buku. Di sana, terdapat banyak sekali hal yang ia tunjukkan. Dan kamu, membuatku harus berada dalam situasi sulit. Jika pun aku ingin maju, akankah kamu bersedia melepaskan lara itu?"

"A-aku ...," ucap Meesha bergetar.

"Manusia hidup bukan untuk meratapi terus kesalahan, kesedihan yang ada. Ikhlas, kuncinya. Bersyukur. Berupayalah, berupayalah mendapatkan kebahagiaanmu sendiri meski itu sulit."

'Benar. Semua yang dikatakan Arzan benar.' raung batinnya.

"Wassalamu'alaikum, Ana."

"Wa'alaikumsalam ...," jawab Meesha. Sambungan itu terputus. Meesha meluruh, tangan kanannya meraba detak jantungnya yang terasa berdenyut meninggalkan sakit. Bukan sakit yang biasa, melainkan sakit yang baru.

Beberapa menit, Meesha masih saja diam memikirkan seluruh ucapan Arzan. Ya, yang meneleponnya adalah Arzan. Hingga, dia mencoba bangkit. Sebuah tekad tertanam dalam hati. Dia ingin berubah. Bukan berubah untuk Arzan, tapi untuk kelangsungan hatinya yang kapan pun bisa pecah kembali.

***

Arzan tersenyum mengiringi langkah keluar area gym. Diembuskan napas, ditatapnya ratu malam di atas sana.

Hai, sang ratu malam ...
wajahmu begitu cantik,
tak peduli kamu seorang diri tanpa sahabatmu si bintang,
kamu tetap kuat, teguh memancarkan kecantikanmu.

Senyumnya melindap. Digantikan ekspresi datar andalannya. Segera, Arzan melangkahkan kaki menuju mobil. Dia masuk dan mulai menyalakan mesin mobil. Sebelum benar-benar meninggalkan area gym, Arzan tetaplah Arzan. Dengan segala pikirannya yang tak satu pun orang mengetahuinya.

Mobil itu melesat pergi. Meninggalkan desau angin menerbangkan dedaunan.

***

Seorang pria melangkah memasuki rumah dengan pakaian kusut. Belum sampai dia mencapai kamar, sebuah suara menghentikan langkahnya.

"Arzan ...," suara itu bernada rendah. Namun penuh ketegasan dan peringatan.

Meneguk ludah susah, Arzan membalikkan raga menatap asal sumber suara. Diliriknya jam dinding yang bertengger manis di atas televisi. Pukul sepuluh malam, belum terlalu larut. 'Apakah aku membuat kesalahan?' tanya batin Arzan.

Kendati demikian, Arzan tetap menghampiri kedua orang tuanya yang sedang duduk berdua di ruang tengah. Entah apa yang akan dibicarakan malam-malam begini. Jam hampir menunjukkan tengah malam. Arzan duduk di hadapan ayahnya.

"Ya, Ayah?"

"Apa yang kamu lakukan?"

"Tidak ada."

Memeluk Janji [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang