Oke. Keep calm, Luna.

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanyaku datar setelah berhasil mengendalikan suasana hatiku. Aku masih tetap waspada dengan kemungkinan-kemungkinan yang menjubel dalam otakku. Dia orang asing yang tiba-tiba datang dalam hidupku. Suamiku, pria halalku, pria asing.

Dia masih tetap diam. Bergeming di tempatnya. Aku mulai kesal. Oke.

"Erlangga, jawab!" teriakku beberapa saat kemudian, merasa tidak tahan ditatap seperti itu.

Diluar dugaanku, dia malah sibuk tertawa sampai berguling-guling di atas kasur. Dasar gila!

"Apanya yang lucu?" aku merajuk sekarang. Menjauh dari meja rias dan menuju kamar mandi. Aku lupa, tadi belum gosok gigi saat mandi.

"Luv, kamu mau kemana?" tanyanya balik menyadari aku beranjak dari tempatku. Aku tidak menanggapi dan melanjutkan jalan ke arah kamar mandi. Salah sendiri membuatku kesal.

***

Aku keluar dari kamar mandi setelah melakukan aktivitas rutinku. Gosok gigi dan membersihkan mukaku sebelum tidur. Saat aku membuka pintu kamar mandi, Erlangga terlihat sedang duduk di pinggiran kasur dengan tatapan siaga. Apa yang sedang ia rencanakan.

"Kenapa lama sekali ke kamar mandinya?" ucapnya begitu aku duduk di sisi lain kasur. Aku menaikkan alisku heran. Apa maksudnya dengan 'lama sekali'nya itu? Aku tidak menyuruhnya untuk menugguku selesai dari kamar mandi.

"Kenapa?" tanyaku balik dengan tak acuh.

"Tidak apa-apa. Ku kira kamu marah tadi, hehe," dia tersenyum salah tingkah.

"Aku ngantuk. Aku mau tidur dulu," ujarku kemudian. Bersiap menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhku.

"Tunggu..." cegahnya ragu. Aku memutar bola mataku malas.

"Apa lagi?" ujarku cuek.

"Nah kan, beneran ini kamu marah. Kenapa Luv, aku ada salah sama kamu? Cerita dong!" cercanya panjang lebar.

Dalam novel-novel roman yang pernah kubaca, tidak begini harusnya malam pertama kami sebagai pengantin. Harusnya kami dilanda rasa canggung berkepanjangan karena kami dua orang asing yang baru saja bertemu. Tapi, bahkan aku tidak menemukan diriku merasa canggung atau apapun. Aku merasa biasa saja. Ini aneh. Sangat. Oke.

"Aku ngga apa-apa. Lebih baik kita tidur sekarang. Aku udah capek banget ini," jelasku sambil menghadap ke arahnya. Dia masih bergeming di pinggir kasur.

"Kenapa? Kamu nggak berniat buat tidur cepet?"

Heran sekali aku dengan kelakuannya yang seperti ABG itu. malu-malu tapi sebenarnya pengen. Ck!

Dia tersenyum canggung kemudian menaikkan tubuhnya ke atas kasur sepenuhnya.

"Ku kira kamu nggak bakalan mau tidur seranjang sama aku. Pria aneh dan nyaris gila yang tiba-tiba melamar kamu," ujarnya sambil berbaring menyamping menghadapku.

Aku berjengit dalam hati. Bahkan dia tahu kalau aku memanngilnya dengan sebutan pria gila. Maaf, suamiku. Hiks.

"Kalau aku seperti itu, lalu untuk apa aku masih bertahan dan tetap menikah dengan kamu hari ini?" tanyaku balik.

"Lalu kenapa kamu mau menikah denganku? Kamu bahkan bisa kabur bersama pria impianmu dan hidup bahagia dengannya," dia berkata sedemikian dengan bola mata yang menjelajahi wajahku. Mendadak aku merasakan wajahku menghangat.

"Aku tidak tahu," ujarku jujur. "Aku hanya mengikuti kata hatiku, selain menuruti keinginan orang tuaku." Lanjutku balas menelusuri wajahnya.

Mataku berhenti cukup lama pada lekukan bibirnya. Bibir yang dipahat sempurna. Bibir yang telah mengucapkan ijab untuk menikahiku. Bibir yang telah memasangkan sebuah pengikat tak kasat mata pada hidupku agar selalu tertaut pada pemiliknya. Dia. Erlangga.

INFINITY FATEWhere stories live. Discover now