"Seperti yang telah berlalu. Pertanyaan Naswa tetap sama. Apa Aji mau menerimaku apa adanya jika nyata aku sudah tidak gadis lagi?"

Aji mendongak lelaki itu kembali berpandangan dengan Naswa. "Aku menerimamu apa adanya."

Naswa menunduk menyembunyikan netranya yang seakan diburu oleh netra elang Aji. Bibir wanita itu belum bisa mengeluarkan jawaban. Sampai pertanyaan yang kembali telinganya.

"Bagaimana, Naswa? Apa kamu perlu waktu untuk berpikir?"

Naswa menggeleng lantas mendongak. "Aku menerimamu."

Serasa ada kupu-kupu yang tiba-tiba melambung di hati Aji. Lelaki itu tidak mampu menyembunyikan senyumannya. Senyum yang lebar dan tulus.

"Bagaimana jika ijab qabul dilaksanakan sekarang? Bisa diulangi saat resepsi seminggu lagi nanti."

Ide Papa Aji membuat semua orang menatapnya. Ayah Naswa mengangguk mengiyakan. Lelaki itu berpikir bahwa hal baik tidak baik jika ditunda.

"Bagaimana, Ji?"

"Ehm saya tergantung Naswa saja. Jika—"

"Halah modelmu! Dalam hati pasti sudah ingin cepet-cepet tho?!" Mama Aji menggoda anaknya.

Semua orang tersenyum. Entah sejak kapan Naswa juga tersenyum. Wanita itu baru sadar bahwa mertuanya tidak semenakutkan yang pernah ia pikirkan.

"Kalau sekarang ya sekarang saja, Ji! Ndak usah pakai kata 'terserah'." Mama Aji kembali mengomeli anaknya.

"Iya, Ma. Iya. Lalu, apa mahar yang Naswa inginkan?" Aji bertanya.

"Seadanya saja," jawab Naswa.

"Uang seratus ribu?"

Naswa mengangguk. Mengiyakan. Tidak ada lagi yang bisa disampaikan. Kejutan hari ini mampu membuat lengkungan bulan sabit di bibirnya.

Akhirnya, malam itu sebuah janji mampu menggetarkan arsy-Nya. Sebuah janji bukan untuk sehidup semati. Namun, sebuah janji untuk mengarungi hidup bersama menuju jannahNya.

***

"Jadi Aji ikut pulang, ya, Ma?" Aji bertanya seraya menatap kedua orang tuanya.

Setelah sesi ijab qabul yang cukup membuat dadanya berdebar. Kini pertanyaan Aji membuat gelak tawa mengalun di ruangan itu. Berbanding dengan Naswa yang dalam hati merasa gemas dengan pertanyaan suaminya.

"Oh, kamu mau pulang? Meninggalkan istrimu sendiri—"

"Bukan, Ma. Maksudnya, pernikahan kami baru sah secara agama. Jadi baiknya aku pulang atau bagaimana?"

"Ohhh. Ya, kamu tetap di sini, Ji. Pengantin baru masa iya harus pisah ranjang!" Papa Aji menaik turunkan alisnya.

Suasana di rumah itu kini riuh dengan tawa. Aji hanya bisa mengelus dadanya agar kesabarannya bertambah dan tidak berkurang. Sedari tadi lelucon yang ada selalu tentangnya.

"Kami pulang dulu, Pak, Bu! Mohon maaf apabila ada kesalahan yang pernah kami lakukan." Mama Aji berkata dengan senyum hangatnya.

Kedua keluarga itu saling sapa dan beramah tamah. Setelah mobil putih itu meninggalkan halaman. Mereka memasuki rumah.

"Nak Aji tidur di kamar Naswa, ya!"

Aji mengangguk seraya mengekori ke mana langkah Naswa. Mereka masih menjaga jarak. Mungkin karena takut untuk memulai.

Derit pintu dibuka membuat lamunan Aji buyar. Kamar Naswa rapi dengan warna ungu yang dominan. Netra lelaki itu menyisir dan meneliti apa saja yang ada.

"Kamar kamu bagus."

"Begitu, ya? Tidak juga sebenarnya!"

"Menurutku bagus."

Lantas tidak ada lagi yang bisa menjadi bahan pembicaraan. Mereka masih canggung dengan status baru. Status yang bukan main-main lagi.

"Masih belum ngantuk?" Aji bertanya sembari melirik Naswa.

Wanita itu menggeleng. Beruntung kasur di kamarnya sedikit besar. Jadi, masih ada jarak antara Aji dan dia.

"Mau main sesuatu?"

Naswa mengerutkan kening. Ia sedikit heran dengan pemikiran Aji. Namun, anggukan membuat lelaki itu tersenyum.

"Kamu pilih truth or dare?" tanya Aji.

"Truth."

"Siapa mantan terindah?" Aji bertanya karena ingin tahu.

"Nggak ada! Namanya mantan ya pasti bukan terindah."

"Kamu pilih truth or dare?"

Aji terdiam sejenak. Memikirkan peluang yang akan terjadi. Naswa berdecak karena lelaki itu terlihat menyebalkan.

"Cepetan! Aku dah keburu ngantuk."

"Dare!"

Naswa menatap Aji. "Oke aku enggak mau ngasih kamu tantangan. Lakuin sesuatu yang kamu inginkan."

Tanpa basa basi dan dengan spontanitas Aji mendaratkan bibirnya di pipi Naswa. "Katanya nyium istri itu sama dengan berpahala. Jadi anggap itu tantangan malam ini."

Naswa mematung. Jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Sentuhan tadi mampu membuat bulu romanya meremang. Itu baru kecupan di pipi, lantas bagaimana jika yang lain?

Tbc, Gaes.

Bukan Gadis Lagi (Completed) [TERBIT]Where stories live. Discover now