"Bagaimana, Nas?" Ayahnya bertanya dengan netra mengharap.

"Sebelum kata persetujuan terucap. Saya ingin bertanya kepada Aji. Jika seumpama saya bukan gadis lagi. Apa Aji masih mau menerima saya sebagai calon istri?"

Rasa kagum karena keanggunan Naswa tiba-tiba menghilang dari hati Mama Aji. Diam-diam wanita itu berdoa agar Aji mendapatkan wanita terbaik. Namun, bukankah yang terbaik menurut manusia belum tentu terbaik menurut Allah?

"In—"

"Saya tidak mau jika anak saya menikah dengan wanita sisa. Jujur Naswa, saya sedikit kecewa karena wajahmu sedikit menipu. Wajah yang sepertinya polos, tetapi perilakunya tidak terpuji!"

Kalimat yang terucap tidak tajam. Namun, mampu membuat pertahanan Naswa goyah. Wanita itu berusaha tetap mendongak meski air mata berjatuhan di pipi.

Aji terdiam dengan kalimat mamanya. Lelaki itu berusaha berpikir dengan kepala dingin dan mengelus pundak wanita paruh baya itu. Meskipun dalam hati ada tanya yang menyeruak.

Ayah Naswa yang tadinya terdiam pun bersuara. "Bu, mohon jangan berburuk sangka dan mengatakan bahwa anak saya adalah wanita sisa. Jika Naswa kehilangan kesuciannya karena kebejatan lelaki, lantas apa masih bisa sebutan wanita sisa itu tersemat?"

"Maksudnya apa?" tanya Mama Aji yang mulai tenang.

"Naswa adalah korban kejahatan seksual. Banyak luka yang tersisa, termasuk luka fisik dan bathin. Jadi, jika Ibu tidak berkenan mengangkatnya sebagai menantu saya tidak apa."

Lelaki renta itu berhasil membuat air mata Naswa berjatuhan. Ia adalah ayah yang benar-benar menyayangi putrinya. Di saat semua dunia mengecam hanya dia yang mampu menyanggah dan membuat dunia bungkam.

"Saya akan menerima Naswa apa adanya."

Kalimat Aji seolah menjadi sihir yang membuat semua mata melebar. Rasa percaya dan tidak percaya berperang di hati Naswa. Jiwa wanitanya bergolak karena ketegasan yang diucapkan lelaki di hadapannya.

"Masih ada wanita lain yang lebih layak, Ji!"

Wanita paruh baya itu melebarkan mata. Seakan menegaskan bahwa ia tidak merestui langkah Aji. Satu kalimat itu tidak berarti ketika satu sanggahan keluar dari mulut putranya.

"Apa standar pantas dari Mama? Aji ... menikahi Naswa bukan tentang layak atau tidak layak, Ma. Jauh sebelum hari ini, hati Aji telah memilih Naswa. Apalagi setelah salat istikharah, wajah yang muncul bukanlah wajah Rea, tetapi Naswa."

Pelan lelaki itu menjelaskan kepada mamanya. Saat nama Rea disebut, Naswa kembali mendongak dan mengingat bahwa Aji akan menikah sebentar lagi. Sebuah pertanyaan meluncur begitu saja.

"Bukankah, kamu akan menikah? Kenapa justru melamarku, Ji?"

Ibu Naswa menatap putrinya tidak percaya. Ia juga baru mengingat bahwa Aji akan menikah. Kini, semua orang terfokus pada lelaki itu.

"Saya tidak jadi menikah. Calon istri saya hamil anak kekasihnya."

Tanpa beban kalimat itu terlontar. Naswa ingin bertanya kembali, tetapi belum sempat keinginan itu terpenuhi Mama Aji telah bangkit dari kursi. Meninggalkan pertemuan tanpa pamit.

Naswa terdiam dan terpaku di tempat duduknya. Di lain sisi ia sedih. Di sisi lain ia bimbang. Apa lamaran Aji masih berlaku, meskipun tanpa restu.

***

Diperjalanan pulang Mama Aji hanya terdiam sembari memperhatikan jalanan kota Surabaya. Entah mengapa wanita paruh baya itu merasa terusik ketika pandangannya tidak sengaja bertemu dengan Naswa. Seperti ada sensasi yang tidak bisa dideskripsikan, tetapi mampu menyita konsentrasi.

Satu hal yang masih ia simpan sampai kini. Ia tidak mau dan tidak ingin Aji menikah dengan wanita itu. Apa pun alasannya, wanita paruh baya itu tidak ingin Aji menikah dengan wanita yang bukan gadis lagi.

"Mama tetap tidak setuju, jika kamu akan menikahi Naswa."

Aji terdiam. Enggan menanggapi ujaran mamanya. Bisa jadi, ia menuruti perintah tersebut, tetapi bisa jadi juga tidak. Sekarang pikirannya tengah berkelana tentang apa yang menimpa Naswa hingga keceriaannya seakan tidak tampak lagi.

"Jika Mama tidak setuju, tetapi Allah telah berkehendak. Apa yang bisa Mama lakukan."

Kalimat itu terlontar dari jok depan mobil. Lelaki paruh baya yang sedari tadi memilih diam dan mengamati apa yang terjadi kini berbicara. Membuat dua orang yang ada di belakang saling bersitatap.

"Apa Papa ingin anak kita mendapat istri, wanita yang bahkan tidak bisa. Menjaga kehormatannya?"

"Jangan menyimpulkan, Ma. Kalimat yang diucapkan oleh Ayah Naswa bukan begitu."

Kini, Aji mulai bimbang, akankah lamarannya berlanjut tanpa restu sang Mama?

TBC!

Note: Terima kasih untuk pembaca yang telah menshare sebanyak-banyaknya. 2000 like lanjut :v!

Bukan Gadis Lagi (Completed) [TERBIT]Where stories live. Discover now