"Nggak usah di bahas. Hayuk di makan, enak banget ini," Sanggahku memotong kalimatnya. Gadis itu menurut, mendekatkan piring kosong ke arahnya kemudian menyedok nasi uduk yang sedari tadi hanya di lihat olehnya.

"Enakkan?" tanyaku. Dia hanya mengangguk lemah sambil mengunyah makanan.

***
Di kantor berulang kali beberapa teman kembali mengajak ke club malam. Dengan sopan aku berusaha menolaknya. Cukup sekali saja kejadian seperti tadi malam, aku tidak ingin ada kejadian kedua sehingga memberi kesempatan pada Papa untuk mengendalikan diriku lagi.

Aku menyusun semua map yang ada di meja setelah membubuhkan tanda tangan. Aku meninggalkan Ema di meja makan tadi pagi. Ingin mengajaknya bersama berangkat bekerja, tapi aku takut dia salah mengartikan. Aku tidak mau dia terlalu berharap padaku.

Karena aku menyadari, dia mulai suka padaku. Tidak jarang, aku memegorkinya mencuri pandang, baik di rumah ataupun di kantor.

"Hey Danu," sapa Ikbal yang langsung duduk di depanku setelah masuk tanpa mengetuk pintu.

"Hay, kenapa? Mau ngajak ke club juga?" Aku menyandarkan punggung ke kursi dan mengaitkan jari-jariku di depan dada. Meletakkan kedua ujung siku di sandaran tangan kursi.

"Tenang aja, nggak lah. Kamu tau, Aku pernah datang ke sebuah cafe, kalau nggak salah nama 'Coffe Jaman Doloe' nah ada penyanyi pop lawas baru di sana. Suaranya enak banget, wajahnya manis juga loh!" ucapnya antusias.

Ah, aku sedang tidak berselera ke mana-mana waktu kuhabiskan membaca buku di rumah, atau sekedar memutari kota untuk mencari keberadaan Yura.

"Lain kali aja, ya. Lagi males."

"Kamu gimana sih, di ajak nongkrong di club nolak. Di ajak ke cafe juga sama."

"Lain kali deh, janji!"

"Janji, ya!"

"Iya."

"Aku kan baru di sini, Danu. Kamu ajak aku jalan-jalan kek, kemana gitu." Aku tertawa mendengar Ikbal bicara seperti itu.

Dia memang baru dua minggu kerja di sini. Tinggalnya juga di samping apartemenku yang baru.

"Iya deh, nanti aku ajak jalan-jalan." Janjiku padanya.

"Ya udah aku balik ke ruangan, ya!" pamitnya. Aku hanya menunjukkan jempol tangan.

***

Pulang bekerja aku mamuju rumah Papa. Aku geram ingin bicara, apa maksud Papa memasukkan obat perangsang di minumanku semalam.

"Assalamu'alaikum." Kutekan bel rumah berkali karena tidak sabar ingin bertemu Papa.

Kreak....

"Waalaikumsalam, den," sahut Mbok sambil membuka pintu.

"Papa, mana mbok?"

"Ada di kamarnya, Den."

Aku langsung menuju kamar Papa. Kulihat dia sedang berbaring di kamar sambil membaca koran.

"Pa!"

"Oh, hay Danu. Kenapa nggak bilang mau datang? Bagaimana tidurmu semalam, nyenyak? Semoga menantu Papa cepat hamil, ya!" katanya santai.

"Papa keterlaluan! Pa, bisa mikir lebih sehat nggak sih?"

"Kamu yang keterlaluan Danu! Pura-pura menikah dengan Ema hanya untuk menyelamatkan si Yura itu. Kamu pikir Papa bodoh? Hah! Kalian pindah dari rumah ini pasti ingin menutupi kebohongan kalian."

"Papa juga ingkar janji, memberi tahu Yura yang sebenarnya."

"Itu karna dia berhak tau! Biar dia bisa instrospeksi diri kalau dia itu cuma benalu di rumah ini!"

Bugh!

Aku meninju tanganku ke dinding, rahangku mengeras. Aku tidak Terima Papa terus merendahkan Yura. Gemeratuk gigiku menahan amarah.

"Aku, akan ceraikan Ema! Tidak ada gunanya pernikahan kami di pertahankan." ucapku penuh penekanan.

Papa diam saja. Aku membanting pintu dan pergi dari rumah besar ini. Papa sempat berlari hendak mengejarku. Tapi langkah kakiku yang lebar tidak berhasil dia susul. Papa hanya melihatku pergi dari lantai atas.

***

Aku menghentikan mobil di sebuah jembatan layang. Menatap ramainya kendaraan yang berlalu lalang di bawah sana. Lampu-lampu terlihat berbaris sangat indah di pinggir jalan.

"Oekkk... Oek... Oek... " Tangisan seorang bayi membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh ke kanan lalu ke kiri mancari suara itu.

"Oek... Oek... " Lagi suara itu terdengar.

Aku menyebrang jalan karena suara bayi itu terdengar dari sana. Sebuah kardus tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Suara itu terdengar jelas dari dalam dus ini. Aku membuka perlahan kardus dan betapa terkejutnya dengan apa yang aku lihat dan kutemukan.

Seorang bayi laki-laki tanpa pakaian menangis tiada henti. Aku bingung harus bagaimana. Perlahan kulepas jas yang kupakai kemudian mengangkat bayi itu dan melilitkan jas yang kupakai ke tubuhnya. Dia masih menangis, mungkin dia haus. Cepat-cepat aku membawanya ke mobil kemudian melesat menuju ke rumah sakit.

Di perjalanan bayi lucu ini terus menangis, aku bahkan menoleh berulang kali sambil berusaha menenangkannya.

"Cup cup, diam ya, Nak. Sebentar lagi kita sampai," kuelus kepalanya kemudian pipinya. Kepalanya menoleh ke kiri kanan seiring tanganku menyentuh pipinya secara bergantian kemudian ia menangis lagi.

"Ya Allah, mana jalanan macet lagi."

------

Bersambung ~


Dua RanjangWhere stories live. Discover now