Chapter 21

1.3K 91 0
                                    

.
.
.

Aku baru saja menghabiskan sarapanku. Hanya ada aku di meja makan. Ibu mungkin telah makan beberapa jam yang lalu, kemudian Ia berangkat menuju kantornya. Setelah membersihkan meja makan dan mencuci piring, aku berjalan ke arah kamar.

Selama seminggu ini aku selalu berdiam diri di dalam kamar, selain susah bergerak dengan kakiku yang diperban, juga aku terlalu malas untuk melakukan apapun. Perban di kakiku sudah dilepas beberapa hari yang lalu dan aku sudah mulai bisa berjalan meski sedikit nyeri.

Yoongi baru saja pergi ke Busan setalah sarapan beberapa jam sebelumku dan segera bergegas tanpa repot-repot memelukku seperti kepergiannya sebelumnya. Aku terkikik geli mengingatnya. Untuk apa juga aku menangis seperti itu, Yoongi bekerja di Busan atas keinginannya sendiri, semoga dia bahagia meski raut wajahnya selalu sama, tak berekspresi.

Besok adalah ujian kelulusanku. Aku berharap agar aku bisa mengerjakannya dengan lancar. Meski aku tipe orang yang juga malas belajar seperti orang kebanyakan, aku pun berusaha agar nilaiku tetap baik.

Alisku terangkat naik saat aku mendengar suara langkah kaki. Aku menoleh, mendapati Ayah membuka pintu kamarku. Kapan Ayah datang? Aku tidak mendengar suara deru mobil atau semacamnya. "Hyerim-ah, keluarlah. Di bawah ada Rumi, temani dia. Ayah akan pergi keluar kota untuk beberapa hari ke depan. Orang tua Rumi juga tidak bisa pulang hari ini." ucapnya membuatku mengangguk dan segera turun menemani Rumi.

Beberapa tangga berhasil aku lewati dengan baik. Kedua mataku menangkap gadis kecil dan seorang lelaki yang duduk di sofa bersebelahan. Aku yang bingung pun menatap Ayah yang juga menatapku. Ia mengangguk.

Ayah paham jika hubunganku dan Jungkook sangat canggung akhir-akhir ini. Ia memintaku untuk berbaikan dengannya, mendengarkan dengan baik yang ingin Jungkook sampaikan kepadaku. Dengan senang hati aku akan melakukannya. Lagi pula, aku juga sedih melihat hubungan persaudaraanku dengannya renggang.

Sembari tersenyum, aku berjalan menghampiri mereka kemudian aku melempar tubuhku tepat disebelah Rumi. Tanganku dengan gemas mengusak rambut depan Rumi, Ia sangat menggemaskan. "Eonnie, kau merusak rambutku." sautnya sambil menyemprotkan bibirnya.

Aku terkekeh melihatnya. "Eoonie sangat gemas melihatmu, Rumi-ya." Kali ini, kedua tanganku mencubit pipi besarnya gemas. Aku jadi teringat pipi besarku dulu, yang juga sering dimainkan oleh Yoongi.

"Aish Eonnie, aku kemari untuk bermain denganmu, bukan untuk menjadi sasaran kegemasanmu."

"Ah, aku akan mengambil beberapa makanan di dapur untuk sekedar mengisi perut." sambungnya sembari beranjak menuju dapur.

Saat tubuh Rumi sudah menghilang, aku membenarkan letak posisi dudukku dengan nyaman. Kini, aku hanya berdua dengan Jungkook yang masih tidak juga melontarkan kata.

Aku memainkan mulutku saat dirasa keadaan sangat canggung. Apakah aku yang harus menanyakannya terlebih dahulu? Jungkook sama sekali tidak berniat untuk mengatakan sesuatu kepadaku.

"Em.. Jungkook Oppa, kenapa kau menjauhiku dihari itu? Apa aku mempunyai kesalahan kepadamu? Aku tau selama ini aku tidak sopan kepadamu, sedangkan kau satu tahun lebih tua dariku."

Hari itu, pasti Jungkook mengerti apa yang aku maksud. Hari yang seharusnya menjadi hari yang indah dengan keluarga yang sudah lengkap. Namun, Jungkook pergi saat hari itu. Tidak, aku tidak menyalahkannya, aku cukup mengerti mengapa Ia bersikap seperti itu. Mungkin Jungkook terkejut menyadari bahwa kenyataannya, aku adalah adiknya.

Huh, takdir siapa yang tahu, bukan?

Jungkook menyanderkan tubuhnya pada sandaran sofa, mendongak menatap langit-langi rumah sembari menghembuskan napas beratnya, kemudian beralih menatapku. Aku membuang pandanganku saat tatapan kami bertemu. Aku sudah tertangkap basah memperhatikan gerak-geriknya.

"Kau tidak salah apapun." ucap Jungkook.

Jika aku tidak memiliki salah apapun padanya, lalu apa? Apa karena Ia menyukaiku seperti yang Hoseok Oppa katakan? Kemudian Ia menjauhiku setelahnya.

"Benar, kau pasti sudah mendengar dari Hoseok hyung bahwa aku menyukaimu. Aku cukup senang kau mengetahuinya tanpa aku memberitahumu." Jungkook tertawa tipis. Aku cemas melihatnya, tawa itu bukanlah tawa yang ingin aku dengar, suara tawa yang penuh keterpaksaan.

"Aku tidak menyangka bahwa kau adalah orang yang dimaksud oleh Ayah sebagai adikku." Aku mendengar seksama apa yang Ia katakan tanpa menyelanya sedikit pun. Jungkook tengah mengeluarkan kegelisahannya yang Ia rasakan akhir-akhir ini. Aku akan menjadi pendengar yang baik untuk saat ini.

"Kau tau, betapa hancurnya hatiku saat melihatmu berdiri bersama Ibu di hadapanku hari itu. Aku bahkan tidak percaya pada penglihatanku sendiri. Aku berpikir, mungkin itu hanya halusinasi sehingga kau muncul tepat saat aku merindukanmu." Jungkook menarik napas sejenak. "Namun, saat Ayah memperkenalkanmu dengan nama yang sama, aku merasa ingin mati saja. Bagaimana bisa, perempuan yang aku sukai ternyata adalah adikku sendiri. Aku bahkan menangis semalaman dihadapan Hoseok hyung. Ah, aku malu mengakuinya sebenarnya karena aku seorang namja. Kau menyakitiku, Hyerim-ah."

Aku spontan menggeleng. "Aku tidak berniat menyakitimu, Oppa. Bahkan aku sendiri tidak tau jika kau adalah kakak lelakiku sama seperti Yoongi Oppa. Aku baru mengetahui ternyata Ayah dan Ibu masih berhubungan dan kau hadir disana. Aku pun sama terkejut seperti apa yang kau rasakan, tapi maafkan aku. Aku tidak bisa membalas perasaanmu kepadaku, aku adikmu sekarang. Aku harap kau bisa melupakanku secepatnya. Jungkook Oppa, Mari kita bangun kembali hubungan persaudaraan yang kita miliki." ucapku panjang lebar.

Jungkook tersenyum tipis. "Arrasso. Aku akan membuang jauh-jauh perasaanku kepadamu dan itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kau orang pertama yang aku sukai, Hyerim-ah. Akan sangat sulit melupakanmu saat kau dan aku sering bertemu nantinya."

"Apa kau ingin aku perkenalkan dengan temanku? Ia menyukaimu sejak lama. Kau bisa belajar mencintainya dan melupakan perasaanmu kepadaku." saranku penuh harap.

"Jangan salahkan aku jika aku tidak bisa melupakanmu dan mengabaikannya." Aku memukul lengannya keras. Ia akan mengabaikan Dami begitu? Enak saja.

"Seharusnya kau berusaha, Oppa. Ah, apa kau ingat seorang perempuan yang pernah kau selamatkan dulu?"

Jungkook terdiam sebentar, mungkin Ia tengah menggali ingatannya. "Aku telah banyak menyelamatkan seorang perempuan, salah satunya adalah dirimu. Saat kau mengalami kekerasan di gudang sekolah."

Aku menghembuskan napas lelah. Astaga, aku sedang memancing ingatannya tentang Dami, lalu kenapa Ia malah mengingat kejadian yang menimpa diriku? Aish jeongmal..

"Bukan yang itu. Kejadiannya jauh lebih lama dari pada itu. Mungkin, sekitar tiga tahun yang lalu?"

"Aku tidak mengingatnya sama sekali. Aku memiliki ingatan yang sangat buruk." sahutnya.

Uh, baiklah. Aku tidak bisa memaksakannya untuk mengingatnya kembali. Biarkan waktu yang akan menjawabnya.

Ngomong-ngomong soal apa yang terjadi padaku di gudang, aku belum mengetahui siapa yang mengambil gambarku saat itu. Aku akan menanyakannya kepada Jungkook. "Apa kau yang mengambil gambar saat aku diserang oleh Seorin dan teman-temannya saat itu?" tanyaku sembari menatapnya.

Jungkook mengangguk kemudian tersenyum. "Aku dengar Ia telah dikeluarkan dari sekolah. Benar, bukan? Aku lega melihat perempuan tidak waras itu hilang dari hidupmu. Silahkan kau nikmati masa sekolahmu dengan tenang yang sebentar lagi telah usai."

Bukankah perkatannya sudah seperti kakak lelakiku yang sesungguhnya? Segera aku memeluk tubuh besarnya yang berada di sebelahku erat. "Terima kasih banyak, Oppa. Aku tidak menyangka jika kau sebaik itu."

Aku merasakan tubuh Jungkook menegang. Aku yang bingung pun tidak memperdulikannya dan tetap memeluknya erat. Tidak salah, kan? Jungkook adalah kakak lelakiku jika kau lupa.

"Em.. Hyerim-ah, jangan memelukku seperti ini. Perasaanku belum hilang sama sekali kepadamu asal kau tau dan pelukanmu ini membuatku gugup."

Oh, ya ampun.

***

I'm Perfect - Kim Seok Jin (END)Where stories live. Discover now