Arman mengecup kening bayi itu saat anaknya sedang menguap lebar.

"Daddy mencintai mommy dan kamu. Selamanya akan selalu begitu. Meski kamu dan mommy pergi nanti, tidak akan ada orang lain yang mendampingi daddy. Tidak akan pernah ada. Hanya kalian saja orang yang spesial dan berhak untuk tetap tinggal di hati dan pikiran daddy,"

Arman memejamkan matanya perlahan saat kantuk menyerangnya. Putranya sudah lebih dulu terlelap dalam pangkuannya. Dia bahkan tidak sadar, kalau sejak putra mereka menangis, sejak saat itu Natasha terbangun dan mendengar semua hal yang Arman bicarakan dengan bayi mereka.

Kini setelah Arman terlelap, Natasha yang tidak bisa tidur. Memang setelah Arman pergi sewaktu Albern lahir, perempuan itu datang dan menjelaskan semuanya pada Natasha. Perempuan yang bernama Lia itu bahkan sudah bersuami dan beranak empat. Jelas saja, Natasha terkejut dan tidak percaya. Namun, Alvaro memberikan empat map kepada Natasha. Alvaro mengatakan segala hal yang Arman pesankan padanya. Keempat map itu Natasha lihat isinya, dan benar.

Ada sebuah rumah besar di bilangan Jakarta Utara untuknya. Atas namanya. Rumah yang katanya menjadi alasan kenapa Arman tidak pulang ke rumah setiap malam. Rumah yang menjadi alasan Lia bertemu Arman di kantor dan restoran. Rumah yang membuat Arman juga Lia harus rela menenggak bergelas-gelas alkohol demi bisa mendapatkan barang untuk mengisi rumah itu.

Selain itu, ada dua perusahaan keluarga Dimitra yang sudah dibalik nama menjadi miliknya dan satu untuk Albern. Semua itu Arman berikan padanya. Rumah besar itu pun, Natasha sebenarnya penasaran. Hanya dia tidak pernah berani kesana.

Sebulan mereka tinggal dalam satu apartment namun, tidak pernah bertemu. Mereka pernah satu kali berpapasan. Saat itu Albern menangis, Arman yang masih berbalut bathrobe menghampiri Albern dan saat itu dia tengah menggendong juga menyusui Albern. Arman sempat tertegun sejenak sebelum dia meminta maaf dan pergi keluar dari kamar Albern.

Natasha rasa, Arman dan Lia tidak berbohong padanya ataupun Alvaro. Dilihat dari bagaimana keadaan Arman saat ini. Pria itu nampak lebih kurus dari biasanya. Bahkan kalau dia tidak salah ingat, Bian mengatakan pernah beberapa kali memergoki Arman merokok. Padahal, Arman biasanya sangat anti dengan benda itu.

Arman terbangun dari tidur singkatnya. Dia menggendong perlahan putranya dan membaringkan anak itu di box bayi yang terpaksa dia angkut kesini dari rumah yang sempat menjadi rumah impiannya. Sekali lagi Arman tersenyum miris.

Arman memilih keluar dan membuat kopi. Dia akan mengerjakan pekerjaannya lagi malam ini dan berangkat lebih pagi agar bisa memberi jarak antara dirinya dan Natasha. Arman rindu namun, tidak berani mengusik ketenangan Natasha.

Langkah kaki Arman terhenti saat melihat siluet sang istri tengah berdiri di dapur, muncul di depannya. Apakah dia tengah melindur? Mungkin, dia terlalu rindu pada istrinya sampai melindur seperti ini.

Arman mendekat. Dia memeluk pinggang ramping itu dengan erat. Keningnya dia tempelkan di bagian belakang kepala istrinya.

'Biarlah. Walau hanya sebuah ilusi, setidaknya aku bisa memelukmu,' batin Arman.

"A-Arman?"

"Hm?"

"Kamu belum tidur?"

"Belum. Kamu kenapa belum tidur?"

"Tidak bisa tidur. Aku membuat susu hangat. Siapa tahu setelah itu aku bisa tidur,"

"Hn. Minumlah susu hangat dan segera istirahat. Jangan meminum obat penenang lagi!" Ujar Arman lirih.

"Kamu mau aku buatkan susu atau teh?"

"Tidak. Biarkan seperti ini sebentar,"

Arman yang masih memejamkan mata itu meresapi kebersamaannya dengan sang istri. Demi Tuhan! Dia tidak mau berpisah dengan istrinya!

"Kenapa tidak tidur di kamar saja?"

"Hm?" Arman masih memejamkan matanya hanya menjawab sekenanya.

"Kamar. Kenapa tidak tidur di kamar saja?"

"Memangnya kamu tidak keberatan?"

"Tidak. Aku tidak keberatan karena, aku tidak menggendongmu,"

Arman terkekeh kecil. Kekehan itu membuat Natasha tahu betapa Arman tersiksa sepertinya.

"Kamu lucu, sayang. Bagaimana mungkin kamu menggendongku yang beratnya dua kali badanmu? Yang ada kamu tertindih olehku,"

"Karena itu, harusnya kamu yang menggendongku,"

"Hn,"

Hening. Arman merasa mimpinya sudah berakhir. Saat dia bangun, dia akan berada di kamar Albern dan sedang memangku anak itu.

"Aku sudah selesai minum susu. Kamu mau ke kamar atau mau tidur disini?"

"Terserahmu. Aku bisa tidur dimanapun,"

"Gendong aku ke kamar kalau begitu,"

"Hn,"

Arman melepaskan pelukannya dan membuka matanya. Dia menggendong Natasha dengan bridal style dan membawa istrinya ke kamar yang seharusnya menjadi kamar mereka. Arman membaringkan sang istri di atas ranjang dan hendak beranjak jika saja, Natasha tidak menarik tangannya. Beruntung, Arman dengan sigap menahan bobot badannya atau dia akan menindih istrinya.

"Kenapa?" Tanya Arman.

Dari jarak sedekat ini dia bisa melihat paras cantik istrinya. Dia rindu sang istri. Sangat rindu.

"Tidur disini saja,"

Arman mengangguk. Dia merangkak melewati Natasha dan membaringkan badan di sebelah Natasha. Dia memejamkan mata dan terlelap dengan cepat.

"Apa kamu sedang melindur tadi? Kamu tidak akan mau menurut untuk ikut kesini jika kamu tidak sedang melindur," bisik Natasha sambil mengusap pipi suaminya yang mengurus.

"Maaf, Arman. Maaf aku sudah begitu egois,"

............

"Engghh..." Arman mengerang kecil. Dia membuka matanya saat matahari terasa sangat menyilaukan.

Arman mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum dia melompat duduk dengan kaget. Dia ada di kamarnya. Bukan di kamar Albern atau di ruang kerjanya. Arman segera beranjak dari sana dan mengambil satu set pakaiannya dari lemari. Saat itulah, lengan ramping berjemari lentik memeluk pinggangnya dengan kuat. Bahkan sebuah kepala bersandar nyaman di punggungnya.

"Selamat pagi, Arman,"

Sapaan itu membuat Arman mematung. Apa dia masih bermimpi? Jika iya, tolong jangan bangunkan dia!

"Arman..." panggilan itu membuat Arman terdiam dan merasakan matanya mulai memanas.

"Aku mencintaimu," ujarnya disertai kecupan-kecupan kecil di punggung Arman yang masih berbalut kaus berwarna cokelat.

Sungguh Arman tidak tahan lagi. Dia menangis disana. Dia terlalu merindukan semua ini. Sangat rindu sampai rasanya sesak. Arman ingin egois tapi, tidak ingin menyakiti istrinya. Arman diam saja saat badannya dibalik perlahan untuk menatap wajah ayu istrinya.

"Jangan menangis!" Ujar istrinya sambil mengusap kedua pipi Arman.

Arman menggenggam kedua tangan itu dan menahannya untuk tetap di pipinya. Dia tetap menangis. Hanya Natasha saja yang bisa membuatnya menangis selain kakaknya.

"Jangan pergi! Aku mohon jangan!" Pinta Arman dengan sangat lirih.

"Maafkan aku. Aku minta maaf. Maki aku, pukul aku, atau hina aku, tapi jangan pergi!"

[DS#2] Between Me, You and WorkWhere stories live. Discover now