Bangau & Merak

124 4 0
                                    

"Tengoklah ke atas" Ujar Merak. "Bukankah elok cakrawala angkasa ini?"

"Ya, sangat menawan." Balas Bangau.

"Aku menyesal kita harus berpisah. Andaikan takdir berkata kita iya untuk kita bersama selamanya, aku yakin hutan kan kita taklukan dengan sayap yang tak dapat mengudara ini.

"Tiada yang tidak mungkin, Mer. Jangan berputus asa, kita masih dapat bersama. Percayalah."

"Nikmatilah saja lara, Bang."

Mereka pun bertutup paruh sambil menatap dirgantara. Sama-sama berharap dalam hati untuk tetap bersama. Tetapi apa daya? Inilah hayat. Kadang kala adil kadang kala tidak. Hidup bagaikan arus sungai, mengalir jika tenang, deras jika badai. Semua perkara ini menimbulkan tanya, apakah arti hidup sebenarnya?

Sambil merenung arti hidup, mereka mengenang masa lalu. Mengumandang manis dan pahitnya hidup. Bercerita tentang hebatnya semesta mempertemukan mereka dan menjadikan mereka handai sejati, bercerita tentang selorohnya canda tawa mereka, dan tak lupa juga bercerita tentang sukar bersama.

"Ingatkah dirimu akan perjumpaan kita pertama kalinya?" Tanya Merak.

"Itu sudah sangat lama sekali, Mer. Tetapi akan kuceritakan lagi." Balas Bang.

"Ehehe" Cengenges Bangau sambil mengingat perjumpaan mereka pertama kalinya. "Kala itu, aku sedang bersama seekor betina dan kau datang mempertunjukkan bulu-bulu mu yang indah itu. Aku awalnya iri, karena sang betina berbicara mengenaimu sepanjang persinggahan menuju sarang. Lalu, aku berkenalan denganmu dan kita menjadi kawan, entah bagaimana caranya."

"Aku masih dapat mengkhayalkan raut parasmu di kepalaku ketika kau menatapku dengan sinis." Kata Merak sambil tersenyum. "Lalu aku ingat juga kau ingin memetik sehelai bulu dari ekorku saat ku terlelap. Oh sungguh, sangat tak biadab."

Lalu mereka tertawa cekikikan.

"Maafkan aku, Mer. Aku hanya ingin memiliki bulu-bulumu, hatiku iri melihat keindahan dan pesona bulu-bulumu. Sementara diriku, hanya putih dan membosankan. Mana ada betina yang tertarik dengan ekor seperti aku?."

"Percayalah aku juga iri dengan dirimu, Bang. Karena dengan bulu-bulumu itu, Anak Manusia tak cinta memburu dirimu. Tetapi, kita turut bersyukur karena inilah yang diberikan Tuhan, kawan. Sebesar apapun menyebalkannya, menyedihkannya, dan buruknya diri kita, kita tetap mensyukuri, Bang."

"Perkataanmu bermakna jua, Mer. Akan ku ikuti dan ku resapi perkataanmu itu."

Mereka pun berdiam dan merenung.

"Ingatkah dirimu saat kita menjadi sahabat?" Tanya Bangau. "Pada musim gugur 6 tahun lalu. Aku sedang keluyuran di tengah hutan bersama para mamalia. Lalu tiba-tiba ada dirimu sedang mengambil langkah seribu dengan cepat sambil menyerukan ada pemburu sadis. Kemudian, aku dan kau berselindung di goa balik air terjun. Dan secepat itu kita bersahabat."

"Oh iya sekarang aku baru ingat. Nyawaku hampir melayang kala itu. Untungnya kau menuntunku untuk singgah ke dalam goa balik air terjun. Syukurlah kita tidak terlambat."

"Dewi fortuna selalu ada di pihak kita, kawan."

"Tetapi, sayangnya hari ini tidak, kawan."

"Ya, sangat disesali."

Mereka pun diam sesaat.

Lalu, Merak menatap bekas luka di kaki Bangau sambil terpana. Merak kembali mengingat kala mereka berdua mencoba menolong Badak yang tersangkut perangkap. Kejadian itu terjadi 2 musim panas yang lalu ketika mereka sedang berjalan menjelajah dan menyusuri hutan rimba.

"Hei, Bang. Nampaknya luka karena menolong Badak itu belum lekas sembuh." Sahut Merak membuka percakapan. "Apakah kau merintihkan peristiwa waktu itu?"

"Haha." Cengenges Bangau. "Kau memang pengingat terbaik sepanjang semesta, aku sampai terheran bagaimana caramu mengingat semuanya dengan jelas. Omong-omong, aku tak merintih akan peristiwa tersebut. Seperti katamu, kawan, harus mensyukuri apa adanya. Walau Badak sudah lupa atas jasa kita dan walau aku tergores mata pisau runcing buatan tangan Anak Manusia. Setidaknya aku masih dapat melangkah sampai detik ini dengan dirimu."

"Bagaimana aku bisa lupa akan momen-momen pemicu adrenalin seperti kala itu? Aku juga takkan pernah meninggalkan kenangan-kenangan indah yang kita lewati bersama. Aku kan mengingat memori-memori media pembuka persahabatan kita tuk selamanya."

"Sekarang diriku teringat senda gurauan kita, kawan. Ingatkah ketika Koi berambisi melumpuhkan Manusia? Semua insan terbahak-bahak mendengarnya. Namun sekarang, ambisi Koi terpenuhi, bukankah begitu, Koi?" Tanya Bangau.

"Oh, ya benar! Semua pengorbanan ini demi teman baikku." Sahut Koi yang daritadi diam mengikuti alur suasana hati Bangau dan Merak.

Ambisi Koi terwujud ketika seorang Manusia ingin memancarkan tembakan senapan ke tubuh Merak. Koi melonjak dari pinggir sungai dan mengenai muka Sang Pemburu. Lalu, kakinya tersandung batu dan kepalanya bertabrakan dengan induk batu sehingga ia lumpuh tak sadarkan diri. Bangau lalu bergegas menolong Koi kembali ke dalam sungai

"Hmm, ini saatnya berpisah. Aku akan merindukanmu, Bang." Ucap Merak. "Janganlah sedih akan perjumpaan terakhir ini. Karena aku akan selalu ada di hatimu. Ingatlah akan selalu bersyukur dan berbuat mulia. Jadilah sang panutan di hutan. Jangan biarkan Manusia menelan korban lagi, bekerja samalah bersama seluruh insan. Dan yang terakhir, ambillah sehelai bulu dari ekorku untukmu juga untuk Koi sebagai symbol aku menyayangi kalian."

"Tenang saja, kawan. Semua ucapanmu itu akan ku lakukan." Balas Bangau sambil menahan tangis. "Ku harap suatu saat nanti kita dapat berjumpa lagi. Pasti diriku akan merindu akan sanjunganmu."

"Ya, teruslah bermimpi." Jawab Merak lemas

Merak pun menghela nafas terakhirnya, karena tembakan senapan tadi mengenai jantungnya. Apa boleh buat, air mata tak kuasa ditahan Bangau. Bangau menangis sekeras-kerasnya di tubuh Merak yang bercucuran darah. Sementara Koi hanya bisa merasakan sesaknya kehilangan teman baiknya, ia tak bisa menangis karena dia adalah seekor ikan. Lalu, Bangau mengambil sehelai bulu untuk dirinya dan untuk Koi.

Bangau yang tak dapat berkutik ketika musibah tersebut terjadi kini hanya dapat meratap di samping sobat sejiwanya. Ia merenung tentang hidup. Apakah arti hidup? Apakah tujuan dari hidup? Semua perkara itu ia renungkan dalam hatinya. Kehilangan sobatnya memang membuat ia sangat terpuruk. Tetapi ia ingat akan kata-kata kawannya untuk tidak sedih. Ia pun mencoba untuk tak bersedih walaupun mustahil.

Rintik hujan pun mulai berjatuhan. Seakan dunia tahu bahwa Bangau sedang bersedih dan ikut turut berduka. Di situ, Koi menemaninya melewati masa suram ini. Bangau hanya merenung dan terus merenung. Dan Ia pun akhirnya bersuara setelah merenung ditemani rintik hujan dan Koi.

"Apakah ada lajur untuk memutarbalikan waktu? Aku ingin sekali menyusuri masa lampau. Aku masih ingin sanjungan dirinya. Rasanya, semua ini terlalu cepat. Aku masih tak percaya semua ini ku lalui." Kata Bangau dengan nada sendu.

"Memang aku tak bisa berkata banyak, Bang. Karena itu bukanlah keahlianku. Tetapi, apa boleh buat? Pada akhirnya, semua ini membuatmu menjadi seekor yang semakin kuat. Walaupun ada penyesalan yang datangnya terlambat." Sahut Koi berupaya menenangkan Bangau. "Tenang saja, semua akan indah pada waktunya."

"Kau ada benarnya juga ya Koi."

"Ya, matur nuwun." Jawab koi cengar-cengir. "Ayo, mari kita kubur saja sebagai tanda penghormatan kita. Tak lupa, beritakan ini ke seluruh penjuru hutan agar dirinya dikenang."

"Baiklah. Mari."

Bangau pun menggotong jasad sahabatnya ke pemakaman warga hutan. Diikuti oleh banyak warga hutan yang turut berduka atas kehilangan salah satu binatang terbaik di hutan. Mereka pun mengenang segala kemuliaan, jasa, kebaikan, serta pengalaman-pengalaman bersama Merak.

Jauh di lubuk hati, Bangau masih tak percaya bahwa ia kini sendiri tak lagi memiliki sahabat sejati. 

Bangau & MerakWhere stories live. Discover now