Tampak raut terkejut dari tiga orang yang kini duduk di kursi kayu tersebut. Bapak Naswa hanya mampu menatap anaknya dengan pandangan tidak percaya. Adit pun sama, lelaki itu bingung dengan pertanyaan yang Naswa ajukan.

"Aku kira semua lelaki tidak ingin menikahi sisa."

Naswa tertohok seribu belati karena ucapan Adit. Terutama kata "sisa" yang kini justru membuat embun di netranya mulai muncul. Setelah terdiam cukup lama, ia kembali membuka suara.

"Aku tidak bisa menerima ajakanmu untuk taaruf. Mungkin kamu terlalu baik."

Setelah kalimat itu, Naswa undur diri. Ia butuh keheningan dan sendiri. Wanita itu masih kalut dengan sebutan "sisa". Apa wanita tidak ubahnya barang di mata lelaki? Seketika pertanyaan itu muncul di pikiran.

***

"Jangan berangkat dulu, Nas! Ada yang ingin bapak tanyakan."

Perintah itu mengalun dengan tegas tidak terbantah. Tanpa basa basi, wanita itu duduk di depan bapaknya. Ada degupan di dalam hati, tetapi berbeda dengan keadaan yang ada. Di ruangan keluarga hanya keheningan yang masih tersisa.

"Apa yang ingin Bapak tanyakan?"

Keheningan yang menyeruak terpecahkan oleh suara Naswa. Lelaki paruh baya yang tadinya membaca koran, kini beralih menatap sang putri dengan ekspresi tidak biasa. Semalaman suntuk tanpa diketahui siapa pun, ia tidak bisa tidur memaknai pertanyaan yang selalu terngiang sedari kejadian malam tadi.

"Jadi ... apa ada yang Naswa sembunyikan dari bapak?"

Seperti biasa pertanyaan yang terlontar membuat Naswa tidak bisa menahan embun yang mulai keluar. Wanita itu terdiam dengan wajah menunduk. Memilih memperhatikan lantai yang putih tidak ternoda.

"Naswa jangan menunduk jika bapak ajak bicara. Semua orang memiliki masalah. Bapak ingin kamu berbagi."

"Naswa harus berbagi apa, Pak?" Naswa mendongak dengan air mata yang mulai hilang lagi.

"Bapak ingin Naswa berbagi semua masalah yang disembunyikan selama ini."

Naswa terpekur sejenak. Mengambil napas lalu membuangnya. Berulang kali wanita itu melakukan hal sama agar rasa sesak tidak lagi menyeruak dan pergi beranjak.

"Naswa,"–lelaki itu menggenggam jari putrinya–"ceritakan, Nak!"

Tidak mengindahkan perintah bapaknya, Naswa tergugi di dekapan lelaki paruh baya itu. Sesak menekan dadanya. Membuat tangis hening bertambah isakan.

"Jangan merasa sendiri. Kamu masih punya bapak. Apa pernah bapak menyakiti kamu?"

Naswa menggeleng dengan hidung memerah. Ingatan masa lalu kembali berputar. Lelaki paruh baya yang ia sebut sebagai bapak tidak pernah sekali pun menyakiti.

"Jadi kenapa kamu masih diam? Bapak ingin tahu bebanmu, Nak!"

"Nas—Naswa su—sudah tidak suci lagi, Pak."

Bersama isak tangis Naswa, kedua netra lelaki paruh baya itu ikut mengembun. Menatap putrinya yang kini menangis tergugu. Rengkuhan itu mampu menyampaikan luka yang tengah dirasa.

"Siapa lelaki itu?"

Meskipun masih ada rasa tidak percaya yang menggelayut, Bapak Naswa bertanya. Lelaki paruh baya itu tidak marah, tetapi kecewa. Kecewa pada putrinya. Namun, sebelum semua kejelasan terkuak, ia lebih memilih diam.

"Di—dia Rehan Aditama. Tujuh tahun yang lalu dia mencuri semuanya, Pak. Di malam ketika ia tengah bertengkar dengan Kak Ratna. Di malam Bapak dan Ibu tidak ada di rumah. Ya, di malam itu aku telah ternoda—"

Prang!!!

Di ambang pintu wanita paruh baya itu menjatuhkan segelas kopi. Menatap tidak percaya ke arah Naswa dan bapaknya. Satu embun berhasil mengalir membasahi pipi yang terlihat keriput tersebut.

"Selama itu kamu menyimpan rahasia ini?"

Ada nada tidak percaya yang keluar dari mulut Ibu Naswa. Rasa kecewa dan marah bercampur menjadi satu. Rasa itu bukan untuk Naswa, tetapi untuk Rehan yang selama ini sangat terlihat baik.

"Kenapa kamu tidak jujur, Nas?"–Ibu Naswa mengguncang bahu putrinya–"katakan! Kenapa kamu tidak jujur?"

"Karena ak—aku tidak ingin mengecewakan kalian. Bukankah Kak Ratna dulu sering memuji Kak Rehan dan kalian juga membenarkan semua? Aku tidak ingin dikira mengada. Jadi lebih baik diam—"

"Aku ibumu, Nas! Aku berhak tahu lukamu, Nak!"

Ibu Naswa tidak lagi mengguncang lengan putrinya. Ia memeluk erat putri bungsunya. Kemudian sebuah kata maaf meluncur begitu saja.

Tbc.

Bukan Gadis Lagi (Completed) [TERBIT]Where stories live. Discover now