"Ke-kenapa?"

"Apa kau akan berpikir kalau Namjoon seorang psiko ketika dia hanya bergurau atau dengan serius menawarkan sebuah kehidupan diatas satu atap yang sama dan menjadi penanggung jawab sebagai pencari nafkah?"

"Tentu saja tidak!" Seokjin menyahut cepat. "Itu romantis, tahu?! Itu tandanya dia ingin melamarku! Hanya orang bodoh saja yang berpikiran semacam itu!"

Yoongi mengangguk, "Good, kau mengakui kalau anak ayam kesayanganmu itu bodoh!"

Seokjin sedikit berjengit ketika Yoongi agak meninggikan suara diakhir kalimatnya. Kemudian matanya mengerjap, menyadari sesuatu. "Yoongi, kau?!"

"Tanyakan saja langsung padanya, kau tidak akan percaya dengan cerita versiku."

Tanpa berpikir dua kali Seokjin meluncur pada Jimin, duduk tepat di hadapannya. Yoongi mengamati dari tempat. Jimin melirik dari balik bahu sempitnya sebelum terlibat pembicaraan serius dengan Seokjin, Hanya lima menit, dan lelaki Kim itu sudah berada di hadapannya lagi dengan wajah sedikit lunak dari sebelumnya yang tampak menggebu-gebu.

"Yoongi, kurasa kalian hanya salah paham."

"Salah paham? Tapi intinya aku 'kan yang salah?" Yoongi mendecih sinis. "Memang kapan aku benar di matanya?"

"Bukankah selama ini kau tidak keberatan di persalahkan dan mengalah untuknya?" tawa kecil Seokjin mengudara melihat Yoongi kembali memasang wajah jengah. Tidak bisa membantah dan jelas membenarkan. "Dengar, Yoongi. Aku tahu niatmu baik, tapi Seojun itu segalanya untuk Jimin. Kalau saja dia tahu Seojun bekerja di perusahaan ayahmu, dia pasti akan sangat marah dan tersinggung. Jadi-"

"Tunggu, dari mana kau tahu soal itu?"

"Seojun Hyung menceritakannya padaku dikunjungan terakhirnya. Dia mengatakan kalau bosnya adalah ayahmu dan memberitahuku tentang bagaimana kau begitu gentle meminta pada ayahmu untuk melamar Jimin padanya." satu senyum hangat itu terukir diiringi tepukan bersahabat dari Seokjin. "Bagi Jimin, Seojun Hyung bukan hanya seorang kakak, tapi juga orang tua serta harta berharga baginya. Dia sangat sensitive jika ada yang mencoba mengolok atau menyakiti kakaknya."

"Tapi aku tidak berniat demikian. Aku hanya bergurau dan- lagi pula aku tidak keberatan sama sekali menghabiskan uang untuknya. Kalau aku mau bahkan sejak dulu bisa saja aku memberikan satu black card padanya."

"Tapi caramu tetap salah. Bicarakan baik-baik, oke? Cobalah mengerti, Jimin itu masih kecil. Dia hanya-"

Dering ponsel Yoongi menginterupsi. Seokjin diam-diam mengamati. Raut wajah itu datar, namun jelas menyimpan arti. Arti yang bisa Seokjin simpulkan dalam frasa amarah.

"Kenapa?"

Terdengar sayup-sayup suara seberang menyahuti perihal modifikasi dan sirkuit. Sepertinya Seokjin tahu siapa manusia di seberang sana.

"Tidak perlu. Aku akan kesana sekarang." kemudian sambungan telepon di matikan. Yoongo bergegas meninggalkan Seokjin tanpa sepatah kata, sekedar berbasa-basi untuk pamitan pun tidak.

Seokjin bergegas menyusul, Yoongi marah dan dia yakin semuanya akan semakin runyam jika salah satu dari mereka tidak ada yang mengalah. "Yoongi, tunggu!"

Entah disengaja atau tidak, lelaki pucat itu berhenti beberapa langkah setelah melewati meja kekasihnya yang masih saja tidak acuh. "Apa?" sahutnya menatap kekasih Namjoon jengah. serius, emosinya sedang naik dan dia tidak ingin menyakiti siapa pun. terlebih sampai berkata-kata yang nantinya akan menyakiti Jiminnya.

Lekas Seokjin menyambar lengan kemeja Jimin, mencoba menarik perhatian si kecil. Jimin mendongak dengan wajah yang kentara sinis. Malas meladeni, tapi tidak memungkiri ikut penasaran kemana Yoongi akan pergi. Jimin pun sadar kalau Yoongi tidak berniat pamit padanya.

Daily LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang