***

Sinar hangat mentari mulai menyapa Bumi. Naswa sudah bersiap untuk berangkat kerja. Belum lama menunggu angkutan umum, sebuah klakson berbunyi. Menyadarkan wanita itu dari lamunan dan membuatnya menoleh.

"Nanas!"

Naswa menyipitkan mata dengan panggilan itu. Dalam sejarah hidupnya hanya ada satu orang yang memanggilnya "Nanas". Orang itu tidak lain dan tidak bukan Aji Mahendra, teman lamanya.

"Bareng, ayo!"

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Naswa mendekati mobil Aji. Setelah lama bertemu semua memang berubah. Termasuk penampilan lelaki itu yang lebih dewasa.

"Bagaimana kabar?" Aji bertanya seraya memperhatikan jalanan.

"Always oke!"

"Oh, memangnya kamu sudah menikah? Mana ada lelaki yang mau menerima kejudesanmu, Nas? Aku kira tidak ada."

Naswa mendecih karena ejekan Aji. "Belum aku belum menikah. Mungkin tidak akan menikah."

Seperti terkena aliran listrik, Aji tiba-tiba menghentikan mobilnya mendadak. Lelaki itu terkejut dengan ucapan Naswa yang terlalu santai dan tenang. Ia menyipitkan mata melihat wanita di sampingnya mengaduh karena terbentur dashboar.

"Kamu mau mati muda? Kenapa ajak-ajak aku sih?" Naswa menggerutu sebal.

Aji memijit pelipisnya pelan. "Aku ... tidak mengerti. Kenapa bisa kamu dengan santai tidak akan menikah?"

Naswa terkekeh pelan. Takdir sudah menempa hidupnya sedemikian rupa. Berkali-kali dalam perjalanan menapaki Bumi ini, wanita itu telah meminum racun. Namun, hal tersakit adalah saat Rehan dengan santainya melakukan sesuatu kesalahan.

"Aku bercanda." Naswa berkata dengan pembawaan tenang.

Baiklah, Aji mengalah. Lelaki itu lebih memilih diam dan tidak terlalu mencampuri hidup Naswa. Sedikit banyak ia tahu bahwa ketenangan wanita di sampingnya memiliki sebuah arti lain.

"Jangan lupa datang ke pernikahanku, ya?!"

Aji menyodorkan kertas undangan. Menampilkan nama yang Naswa kenal. Wanita itu tersenyum dan terkekeh pelan.

"Ohhh, jadi ada yang mau nikah. Oke, selamat! Samawa, deh!"

Aji tersenyum dan memberikan jempol untuk Naswa. Wanita itu berlalu setelah mengucap salam. Pertemuan pertama setelah wisuda justru membuat tanda tanya lelaki yang masih di mobilnya tersebut.

***

"Nas!"

Suara cempreng dengan intonasi tinggi memecah keheningan lorong kantor. Siapa lagi jika bukan teman Naswa, Anti. Wanita itu datang tergopoh dengan wajah yang kusut.

"Ada apa?"

"Jawab pertanyaanku. Apa kamu menolak lamaran kakak iparmu?"

Gosip di kantor ini memang mudah menyebar. Naswa hanya mengangguk mengiyakan membuat Anti menggeram lelah. Sudah tidak terhitung jari banyaknya lelaki yang ditolak saat melamar wanita itu.

"Kenapa, Nas? Meskipun duda dia itu tampan. Suamiable, lah!"

Naswa tertawa dalam hati. Wanita itu lebih memilih berlalu dan memendam semua dalam diam. Perlahan ia masuk ke ruangannya dan menata semua berkas yang ada.

Anti menebas dada dengan pelan. Wanita itu tidak tahu apa yang tengah menjadi pergolakan batin sahabatnya. Namun, ia tetap mendukung semua yang dilakukan Naswa asal itu hal terbaik.

***

"Aku pulang dulu, Nas! Enggak apa-apa, kan?"

"Enggak usah khawatir. Aku baik-baik saja, kok!"

Kalimat itu terlontar bersamaan dengan wanita itu yang masih fokus ke layar komputer. Anti mengucapkan salam dan meninggalkan ruangan. Jam telah menunjukkan pukul setengah delapan. Lima belas menit lagi mungkin semua pekerjaan Naswa selesai.

"Finish!"

Tepat setelah selesai Naswa membereskan semua yang berserakan. Tidak memakan waktu lama, wanita itu keluar dengan menenteng tas. Beberapa langkah melewati jalan gulita, sebuah lengan menutup mulutnya. Teriakan yang ada tidak mengusik ketenangan malam. Di samping itu, sebuah seringai kejam tersungging.

***

Aji ingin mengumpat melihat ban mobilnya bocor. Sebuah teriakan membuat bulu roma lelaki itu berdiri. Namun, pikiran negatif tentang adanya hantu ditepis.

Samar dalam gulita ia melihat seseorang tengah menggendong wanita. Rasa penasaran membuat lelaki itu mau tidak mau mwngikuti mereka. Meninggalkan mobil yang masih terdampar di pinggir jalan.

***

"Lepasin!"

Setengah jam pengintaian sebuah teriakan dari suara di kenal membuat Aji melebarkan mata. Teriakan itu bersahutan dengan tawa khas orang jahat dalam ftv. Cepat-cepat, lelaki itu mencari celah untuk melihat apa yang terjadi.

"Jangan terlalu jual mahal, Nona! Kamu itu tidak ada harganya."

Naswa berkaca tatkala selembar kerudung yang ia pakai telah tercampat ke lantai. Wanita itu telah merasa menjadi kotor. Apalagi saat tangan Rehan membelai pipinya. Jeritannya semakin menjadi.

"Kamu mau lebih, Sayang?"

Bersamaan dengan itu sebuah pukulan telah berhasil menumbangkan Rehan. Dua laki-laki tidak dikenal kini tengah memandang sinis. Memindai dari atas sampai bawah.

"Kenapa kamu mengganggu ketenanganku dan wanita malamku?" tanya Rehan berapi-api.

  Tbc.

Bukan Gadis Lagi (Completed) [TERBIT]Where stories live. Discover now