Chapter 15: Clarity (Kejernihan)

Mulai dari awal
                                    

YanLi menepuk tangan Wei Ying. "Aku yakin dia tahu betapa pintar dirimu. Kau juga sudah mendapat gelar insinyur, kan?"

Wei Ying meringis. "Ah, aku drop out dari kampus."

"Drop out?"

"Yeah, rasanya... itu bukan hal yang benar-benar ingin kulakukan."

Tangan Jiejie mengerat di sekeliling tangannya. Tahun terakhirnya di universitas bertepatan dengan peristiwa itu. Wei Ying tahu kebohongan menyedihkannya tidak akan bisa meyakinkan YanLi.

"Asalkan kau bahagia," ujar Jiejie. "Itulah yang paling penting."

Lagi-lagi, Wei Ying tetap bungkam. Tatapannya memindai ruangan dan berhenti pada pintu, ingin sekali mengganti topik pembicaraan—apa pun yang bukan tentang dirinya.

"Jiang Cheng ada di luar. Haruskah aku keluar dan membiarkanmu bicara dengannya?"

"Tidak. Aku ingin bicara dengan kalian berdua. Bisa kaupanggilkan dia?"

Wei Ying berharap dirinya tidak pernah menanyakan itu. Perlahan dia melepaskan genggaman tangannya dan bangkit berdiri. "Baiklah. Akan kupanggilkan dia."

Dia melangkah ke pintu dan kepalanya melongok keluar. Orang pertama yang dilihat adalah Lan Zhan yang sedang bersandar di dinding. Lelaki itu mendongak, sirat khawatir tampak jelas di matanya. Wei Ying melayangkan senyum singkat sebelum berpaling ke Jiang Cheng.

"Dia ingin bicara dengan kita. Bersama," ujarnya."

Jiang Cheng menghela napas. Wei Ying tidak melewatkan bagaimana lelaki itu mengepalkan tangan, tapi tetap berdiri dan memasuki ruangan. Dia tidak angkat bicara saat melewati Wei Ying.

Bagus. Wei Ying berbalik dan duduk kembali di kursinya, berusaha keras tidak terlalu membaca ekspresi Jiang Cheng. Di antara mereka berdua, Jiang Cheng tidak pernah bagus dalam menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya, sedangkan Wei Ying pada dasarnya sudah ahli. Senyum Jiang Cheng pada Jiejie tampak tegang, canggung. Wei Ying benci itu.

"A-Cheng, kau berlebihan saat bilang A-Ying sekarang jauh lebih pendek darimu. Hampir tidak ada bedanya, kok," ucap Jiejie.

Senyum paksa Jiang Cheng melebar menjadi ringisan. "Jiejie, aku tidak pernah bilang begitu."

Jiejie tertawa kecil. "Aku tidak percaya kalian sudah tumbuh sebesar ini."

"Setiap kali kau bilang begitu, aku jadi merasa tua," gumam Jiang Cheng.

"Kau tahu bukan itu maksudku. Tapi aku penasaran. Dua pria tampan ini... Kenapa kalian berdua masih melajang?"

Wei Ying mengangkat kedua alisnya, menyadari kilatan familier di sorot mata Jiang Cheng. Tak butuh waktu lama sampai lelaki itu merona, menyipitkan mata padanya.

"Ba-Bagaimana kau tahu aku melajang?" tanyanya.

Ucapan terbata-bata itu nyaris membuat Wei Ying menyeringai. Jiang Cheng sama sekali tidak berubah.

Jiejie tersenyum cerah pada mereka dengan kepolosan bak malaikat. "A-Xuan selalu memberitahuku kabar terbaru."

"Ini bukan urusannya!"

"Well?" Jiejie masih mendesak.

Jiang Cheng menggeleng. Pipinya makin merona merah, dan itu benar-benar tidak bisa menyelamatkannya. Wei Ying berpangku tangan dan membiarkan senyum kecil tulus terlukis di bibirnya. Dia lupa betapa mudah Jiang Cheng merona.

"Aku tidak peduli soal begituan!" Jiang Cheng terus bersikeras.

"A-Ying?" Kini, Jiejie mengalihkan perhatiannya ke Wei Ying, menghapus bersih senyum di wajah lelaki itu. "A-Xuan bilang kau membawa seseorang denganmu ke sini."

monotone (terjemahan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang