07 » Training and Pain

Start from the beginning
                                    

Kami sudah melatih ketahanan tubuh kami selama dua minggu ini, dan Kakashi memutuskan untuk melatih kami dalam membentuk chakra dalam tubuh kami. Dia menjelaskan semua tentang 'apalah itu' yang membuatku bosan karena aku sudah membacanya saat hari pertama aku masuk di dunia Naruto.

"Meskipun kalian bisa membentuk sejumlah chakra, jika kalian tidak bisa mengontrol nya, jutsu yang akan kalian keluarkan hanya akan setengah berfungsi, atau tidak berfungsi sama sekali."

Hmm, I wonder. Apakah ini alasan kenapa segel peledak yang aku buat sendiri tidak dapat berfungsi saat pertama kali nya aku buat? Karena aku tidak bisa mengontrol chakra dengan benar? Sepertinya iya.

Kami bertiga memulai latihan memanjat pohon secara vertikal dengan chakra. Sakura berhasil dalam sekali percobaan, Kakashi memanas-manasi Sasuke karena itu, membuat Sasuke menjadi kesal dan secara brutal terus menerus mencoba memanjat pohon.

Kalian tahu? Mengontrol chakra ternyata menyebalkan. Aku sangat kesusahan dalam membentuk chakra yang pas di telapak kaki ku supaya bisa menempel pada batang pohon. Entah terkadang itu terlalu sedikit, atau terlalu banyak. Yang pasti, mengontrol chakra dengan baik dan benar bukan spesialis ku.

Aku dan Sasuke berlatih hingga matahari terbenam sempurna, sebelum kembali ke rumah Tazuna. Dan seakan Tuhan memberkati, kami berdua sampai disana tepat saat makan malam telah disiapkan.

Makanan apapun akan terasa enak jika kau dalam mode kelaparan tingkat tinggi, dan itulah yang kurasakan sekarang. Aku tidak tahu kalau berlatih mengontrol chakra akan se-melelahkan ini T-T

"Jadi, bagaimana latihan kalian hari ini?" Kakashi bertanya sembari memainkan gelas berisi teh nya.

"Kami berdua sudah mencapai setengah dari tinggi pohon kami, 'ttebayo!" Kataku dengan bangganya. Yeah, Kakashi bilang bahkan seorang Chūnin masih kesusahan melakukannya, maka dari itu aku harusnya bangga, bukan?

"Bagus sekali," Kakashi tersenyum menampakkan eyesmile nya.

"Kalian semua menyedihkan," suara kursi yang ditarik, dan tapak kaki kecil mengikuti. Itu Inari, sudah pasti.

"Inari!" Ibunya, Tsunami, memarahinya. Tapi anak cengeng itu tidak peduli dan tetap berjalan pergi dari ruang makan.

"Dia terbentur di kepala atau apa?" Tanyaku, mengerutkan dahi menatap kepergian Inari.

"Naruto! Jangan kasar!" Sakura mencoba memukul belakang kepalaku, tapi aku dengan cepat menghindari nya. Kalau saja tidak di meja makan, mungkin aku sudah menendang bokongnya sekarang.

"Maafkan atas ketidaksopanan dia," Tsunami menundukkan kepalanya minta maaf. "Dia selalu seperti itu sejak..."

"Sejak..?" Kakashi bertanya, menekan halus supaya Tsunami melanjutkan perkataannya.

Bukan Tsunami, tapi Tazuna lah yang melanjutkan. Dia bercerita tentang pria bernama Kaiza yang selalu Inari anggap seperti ayahnya sendiri dan bagaimana Gatõ membunuhnya di depan semua orang. Yeah, cerita yang sudah aku tahu.

"Semenjak hari itu, Inari berubah. Dia tak lagi ceria seperti dulu, dan bahkan tak percaya pada konsep pahlawan lagi."

"Kalau begitu dia anak terbodoh yang pernah ada," jawabku dengan refleks. Semua orang menatapku terkejut. "Tidak percaya pada konsep pahlawan dan menganggap itu konyol, itu artinya dia menganggap ibunya sendiri konyol, dan kelahirannya di dunia ini adalah hal yang konyol."

Aku tertawa. Ya, benar benar tertawa karena hal yang ku katakan barusan. Lalu pergi ke ruangan tempat aku dan Sakura berbagi untuk tidur.

Konyol sekali hari ini.

To Be Naruto [DISCONTINUED]Where stories live. Discover now