Lipatan 01 || Bentuk Hati

126K 6.1K 129
                                    


Dear Fardio Tama,


Seperti angin yang selalu mengerti,

ke mana embusannya harus berlari

seperti itulah mataku tertuju

Selalu melekat padamu,

dengan caraku


***


"Kertas lipat lagi?!" decak Dio seraya mengacak pelan rambut hitamnya.

Bibir tipis Dio menekuk sebal bersamaan mata yang tak lepas dari rangkaian kata pada selembar kertas merah muda. Dio menatap suratnya cukup lama, seolah mendalami makna dari setiap goresan tinta biru di hadapannya. Laki-laki berkulit putih dan cukup bersih itu meniupkan pelan udara yang membuat rambut di atas dahinya sedikit bergerak.

"Ini Senin, ya?" tanyanya pada diri sendiri.

Setelah melipat kembali origami tadi menjadi bentuk hati seperti semula, ia langsung membereskan semua barang bawaan di dalam tasnya. Dio menenteng botol minum dan sepatu basketnya sebelum kemudian pergi meninggalkan lapangan basket kampus yang sudah sepi.

Gue benar-benar butuh mandi.


***


Dio, yang sudah berganti pakaian dengan kaos kebesaran dan celana selutut kesukaannya, memutuskan melangkah ke arah teras rumah. Laki-laki tinggi dan kurus itu membawa segelas kopi dingin di tangan kanan dan buku Pengantar Teori Graf di tangan lainnya.

"Saatnya menikmati sore hari."

Bukan Fardio Tama namanya kalau tidak belajar di waktu senggang. Ia akan belajar bahkan tanpa diminta. Begitulah cara Dio menunjukkan kesukaannya terhadap Matematika—jurusan kuliah yang tengah ditekuni. Semakin rumit materi yang diberikan dosen, semakin tertariklah Dio untuk memahami ilmu itu. Ia rela menghabiskan banyak waktu hanya untuk bergelut dengan apa yang disukainya.

Baru saja membaca baris pertama di tempat kertas tipis penanda halaman bukunya diletakkan, mahasiswa tingkat tiga itu mulai merasakan perasaan tidak enak. Ada semacam insting tidak menyenangkan dalam dadanya. Ini kan hari—

"Kak Dio!"

Ya! Pas! Dio langsung ingat tentang hari Senin sorenya yang tidak pernah tenang. Ia mencuri pandang ke arah pagar dan mendapati seorang gadis yang tak kalah kurus darinya sudah berdiri tepat di depan sana.

Ah, sial! Harusnya gue inget dari awal, batin Dio ketika tangannya frustrasi mengacak-acak rambut.

Gadis dengan senyum manis itu terlihat melambaikan tangan dari balik bagian atas pagar yang mulus.

"Gue boleh masuk ya, Kak?!" teriaknya yang beberapa detik kemudian sudah masuk dan langsung duduk di samping Dio. Semua terjadi sebelum Dio sempat menjawab.

Fardio Tama akhirnya memilih diam dan mengabaikan. Ia kembali berusaha sibuk pada tulisan-tulisan di bukunya yang sudah jelas jauh lebih menarik. Karena pada dasarnya, seorang Aiara Nadya Noer tidak pernah menarik bagi Fardio Tama.

OrigamiaraWhere stories live. Discover now