Aku mulai mempercayai bisikan- bisikan yang keluar dari sisi gelap, yang berasal dari arah yang entah, aku tidak tahu dari arah yang mana dari segala penjuru. Aku merasa semakin menjadi tidak terlihat dan menghilang. Dan semua yang masih tersisa dari secuil yang kumiliki terasa semakin jauh. Semua cita- cita dan harapan yang sempat kumiliki menjadi rapuh dan memudar. Siapa aku dan dimana aku mulai kupertanyakan.

Dari sisi manusia, dapatkah aku menjadi bagiannya? Dari sisi kegelapan, dapatkah aku tergolong di dalamnya? Dari sisi kematian, apakah aku benar- benar menjadi secuil dari kesunyian yang dimilikinya? Jawaban yang selalu kutemukan adalah 'aku tidak tahu'. Menjadi hymne yang selalu terngiang- ngiang di kepalaku. Dinyanyikan di dalam otakku dengan melodi yang sulit untuk dilupakan.

Aku mulai goyah. Merasa terombang- ambing. Seperti sedang menaiki perahu di atas laut yang mengalami badai. Aku hidup karena aku tidak bisa mati. Ini sungguh- sungguh dan benar- benar menyebalkan. Aku tidak bisa mengambil keputusan apapun. Aku tidak bisa menentukan masa depan yang ingin kumiliki. Tidak bisa meramalkannya. Tidak bisa memilih, seperti memilih Aku semakin memiliki banyak batasan yang tidak terhitung jumlanya. Menjadi deretan bintang- bintang di langit yang hampir mustahil dapat kuhitung.

Kehidupan keluargaku semakin kacau. Lingkaran demi lingkaran dari semua masalah kehidupan manusia di dunia semakin bertambah. Mengerucut kebawah seperti piramida. Banyak dan semakin bertambah banyak. Kehidupan hanya permainan yang perlu kita mainkan. Tetapi aku hampir selalu mencapai game over. Dan bahkan aku sering mendapatkan diantaranya. Antara game over dan hidup. Selalu memakai mode on dan off yang ditekan berkali-kali dan bergantian. Aku hidup karena aku tidak bisa mati. Aku melakukannya karena aku tidak mempunyai pilihan.

Apa yang kumiliki dan siapa yang kumiliki perlahan menjauh dan semakin menjauh. Perasaan menjadi sungai yang terbentang diantara kami semua. Apa yang bisa kulakukan? Hanya mampu menerimanya dengan hati yang mulai hancur. Semua yang kuinginkan menjadi semakin jauh ketika aku mulai mengharapkannya menjadi milikku.

Tahun itu entah di tahun yang mana. Ketika masalah di dalam keluargaku menjadi semakin menggila dengan semua ketidak punyaan yang kami miliki, satu persatu orang mulai pergi. Dan aku adalah orang yang terakhir pergi. Menjadi yang terakhir pergi bukan karena ingin, tetapi karena rantai yang menjerat kakiku. Kecuali kakak laki- laki pertamaku yang memang sejak awal sudah pergi. Anggap saja begitu. Dimulai dari ibu yang semakin sering meninggalkan kami semua sendiri. Meningglakan kami di dalam kotak bata yang semakin rapuh, walaupun berdiri di tengan- tengah daerah perumahan yang mungkin bisa disebut begitu.

Awalnya kotak bata itu terlihat bagus dengan semua yang ada di dalamnya walaupun berukuran kecil. Kami mendapatkannya dari sebuah penipuan yang menjadi awal ketidak punyaan kami. Sebuah bencana berawal dari kotak bata itu. Kotak bata itu seperti kotak pandora bagi kami. Hitam pekat, terlarang dan banyak kata- kata yang pantas digunakan untuk menyebutnya. Tetapi seperti yang sudah pernah ku katakan, manis dan memabukkan

Kami memiliki tetangga yang terlalu fanatik dan berpegang teguh pada kepercayaan yang dianutnya. Entahlah apa sedang mereka pikirkan tentang kami. Dan bagaimana penilaian mereka terhadap kami. Tetangga dari empat penjuru seperti menatap kami dengan tatapan singa yang sedang mengawasi buruan yang akan mereka terkam dan mangsa. Dan mereka menunggu kami lengah.

Hingga waktu yang mereka tunggu- tunggu muncul. Kesempatan yang membuat kami semua tidak bisa memilih. Kami hancur dan berantakan. Seperti botol kaca yang dibanting ke atas tanah. Tidak terselamatkan. Menjadi serpihan- serpihan kecil yang tidak ada gunanya. Mereka manis di depan, tetapi merongrong dari balik punggung. Mereka menundukkan kepala dengan sopan, tetapi ketika memalingkan wajah, mereka mencibirkan mulut tanpa merasa bersalah. Mereka tidak pernah berfikir apa yang akan terjadi akibat mulut tajam mereka, yang setajam sebilah pedang yag baru diasah

MAP OF THE SOUL: City of Dream (END)Where stories live. Discover now