You Have Gone

163 27 16
                                    

Sorak tepuk tangan bergema dalam hitungan detik tatkala kami semua---segenap pemeran drama Alice In Wonderland dari Teater Olympic---menunduk penuh hormat di hadapan para tamu undangan. Atmosfer ruangan berubah semarak ketika drama pertunjukkan baru saja berakhir. Diiringi siulan dan decak kagum pengunjung, aku kembali menuju backstage dengan langkah anggun.

"Keren, Triv," puji guru Seni Budayaku. "Kamu benar-benar mendalami karakter Alice rupanya. Beberapa audience dalam convention hall ada yang terharu  ketika adegan Alice harus melawan Red Queen."
Aku tersenyum mengapresiasi pengakuan guru setengah abad tersebut.

Tak lama kemudian, Roland---pemeran Mad Hatter---datang sambil membawakan sekotak konsumsi dari panitia. Aku lantas mengambil makanan tersebut sesaat setelah mengucapkan terimakasih. Kami berdua menarik langkah menuju area backstage yang jarang dijamah.

"Menurutmu apa yang terjadi jika Alice tak pernah bermimpi masuk ke lubang itu dan terjebak di Underland?" Mad Hatter---aku lebih suka memanggilnya begitu daripada Roland---bertanya skeptis.

Sambil mengunyah camilan, aku merespon. "Alice tidak akan pernah bertemu White Rabbit, Chesire Cat, Absolem, terjebak dalam petualangan yang menakjubkan, Mad."

"Kalau kamu berkesempatan menjadi Alice, apa yang mau kamu ubah dari cerita itu?"

"Melakukan sesuatu konyol bersama Mad Hatter," gurauku seraya terkekeh.

Alih-alih ikut tertawa, gurat wajah Roland si Mad Hatter justru berubah datar. Maka, kuputuskan untuk bercanda lagi. "Ah ya! Satu lagi, aku juga ingin berteman dengan Red Queen."

"Tidak lucu, Trivia."

---

Baru saja Mama mengabari jika beliau tidak bisa menjemputku seusai drama pertunjukan lantaran klien-nya mengadakan pertemuan secara mendadak. Dan, di sinilah aku sekarang, duduk di salter yang didesaki puluhan orang, melamun dengan tangan bertopang dagu, menuggu busway seorang diri menggenakan kostum Alice In Wonderland. Tidak ada yang lebih menyebalkan selain baju gantiku ketinggalan di rumah, sungguh.

Ketika pikiranku tengah menerawang jauh, seorang pria berambut merah dengan topi hijau---mengingatkanku pada Mad Hatter---menjawil bahuku pelan. Sontak, aku menoleh. Pria itu duduk di sebelahku dengan senyum terukir asimetris.

Tetapi rasanya, ada yang ganjil, sejak kapan dia ada di sana? Bukankah barusan sebelahku ibu-ibu yang sedang menggendong balitanya?

Namun, aku enggan memikirkan hal itu sekarang. Jadi, kuputuskan untuk merespon singkat. "Iya?"

"Hai, Alice," sapanya, lembut, sambil menyeringai.

Kupikir, itu Roland, setelah inderaku mendengar suaranya yang tidak-Roland-sekali, aku jadi sangsi. Dia bukan Roland. Dia siapa, sih? Kenapa pakaian dan gayanganya mirip Mad Hatter?

"Oh, hai. Anda siapa, ya?" tanyaku tentatif seraya menilai penampilannya dari atas sampai bawah.

"Mad Hatter." Tawanya kontan berderai. Tawa yang terdengar menyeramkan di telingaku. "Mau melakukan sesuatu yang konyol, Alice?" tawar pria itu yang membuatku sontak teringat percakapan dengan Roland.

Aku mendengus. "Roland, tidak lucu!"

"Kau tidak percaya kalau aku Mad Hatter?" Pria berambut merah itu menunjuk dirinya sendiri. Dia berusaha merangkul bahuku, tapi aku berkelit.

"Tentu. Kau siapa?"

"Mad Hatter. Kudengar, kau ingin melakukan sesuatu konyol."

Ketika bibirku sudah terbuka untuk menolak ajakannya, tiba-tiba, seorang bapak tua menegurku. "Dik, busnya sudah datang."

You Have GoneWhere stories live. Discover now