Fragment 7:1

Mulai dari awal
                                        

Refleks, Andra menoleh menatap Ila yang kini sibuk menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Sesaat, tatapannya bertemu dengan mata kecil Ila. Gadis itu punya mata yang kecil, bukan sipit, hanya terlihat sayu dan sendu. Tapi disisi lain, tatapan itu selalu menajam. Dan Andra selalu menyukai tatapan itu. Untuk sesaat, waktu seolah berhenti di titik itu. Saat angin lagi-lagi dengan usilnya kembali menerbangkan helaian rambut Ila. Kalau saja... kalau saja situasinya berbeda, sudah pasti Andra akan siap siaga menyelipkan anak rambut itu ke belakang telinga Ila. Namun semuanya sudah berubah, semuanya berbeda. Mau dipaksakan seperti apapun, semuanya tidak bisa kembali seperti sedia kala.

***

Dua jam berlalu dengan suasana canggung yang amat sangat mencekam. Sejak tadi yang Andra lakukan hanya berkutat pada ponselnya, mencoba mencari kesibukan meski hanya dengan main game. Di sisi lain, Ila juga mencoba menyibukkan dirinya dengan mengupas buah-buahan yang memang sengaja dibawanya tadi. Sampai suara serak Andra menginterupsi keheningan yang tercipta di antara mereka.

“Lo nggak sekolah?”

Singkat, namun tajam dan sukses membuat hati Ila teriris. Bukan dari pertanyaannya, tapi dari nada bicara dan gestur Andra yang bahkan tak menoleh pada Ila saat mengatakannya. Cowok itu masih sibuk berkutat dengan game di ponselnya.

“Gue izin buat jagain lo,” ucap Ila pelan.

“Ngapain? Besok-besok nggak usah. Lebih baik sekolah aja.” Kali ini Andra berucap sambil menatap Ila, namun hanya sesaat. Karena detik berikutnya, cowok itu kembali mengerahkan atensinya pada layar ponsel.

Lagi. Nada bicara Andra yang tajam, sukses membuat hati Ila tersayat. Entah mengapa, rasanya perih sekali saat mendapati sikap Andra yang begitu ketus dan dingin padanya.

“Maafin gue, Ndra.”

Satu kata itu cukup membuat perhatian Andra yang sebelumnya terfokus pada layar ponsel, kini teralihkan pada gadis manis di hadapannya.

“Untuk?” ucap Andra, masih dengan nada tegas nan menyakitkan.

“Maafin gue, gara-gara gue lo jadi begini... gara-gara gue....”

Ila tidak melanjutkan ucapannya. Dadanya mendadak sesak, seperti ada benda besar yang menghimpitnya hingga rasanya sulit untuk bernapas. Pundaknya bergerak naik-turun, gadis itu terisak dalam diam. Kedua telapak tangannya menutup seluruh wajahnya, namun cukup bagi Andra menyadari bahwa gadis itu tengah menangis. Tidak seperti sebelumnya, kali ini alasan ila menangis adalah dirinya. Catat baik-baik, Andra telah membuat Ila menangis. Dan hal itu kontan membuat goresan-goresan tak kasat mata di hati Andra. Perih.

“La...,” Andra berucap pelan, tapi yang terjadi Ila malah makin terisak. “La! Jangan nangis gue mohon!”

“Terus gue harus gimana? Kasih tahu gue harus gimana supaya lo maafin gue, supaya lo nggak benci gue, Ndra!”

Hening.

Andra belum menjawab, sedangkan Ila malah semakin terisak membuat hati Andra nyeri bagai ditikam sembilu. Mengapa? Mengapa saat Andra memutuskan untuk berhenti, Ila justru membuat pertahanannya goyah?

“Gue nggak benci sama lo, La,” ucap Andra, nadanya mulai melembut meski tidak dengan tatapannya.

Masih sambil terisak, Ila memaksakan untuk menatap Andra. Manik hitam cowok itu seolah menghujamnya, memberinya tusukan tak kasat mata yang membuat hatinya nyeri seketika.

“Udah, jangan nangis. Gue nggak bisa liat lo nangis, La,” ucap Andra sebari menyeka air mata yang masih menetes di pipi cewek itu.

“Maafin gue, Ndra.”

Tidak langsung menjawab, Andra hanya menghela napas pelan sembari sibuk membersihkan sisa-sisa air mata di wajah Ila.

“Nggak perlu minta maaf untuk kesalahan yang nggak lo perbuat,” ucap Andra pelan. “Lagian emangnya gue punya hak untuk benci sama lo?”

Andra terkekeh di ujung kalimatnya. Miris rasanya jika harus mengingat kejadian lalu. Cowok itu akhirnya mengalihkan pandangannya pada buah-buahan yang sudah Ila kupas tadi. Mengambil potongan apel, kemudian memasukkannya ke dalam mulut. Sebisa mungkin mengalihkan pandangannya dari Ila yang kini malah menatapnya lurus. Andra tidak tahu apa yang ada dalam pikiran cewek itu, saat dirinya mati-matian menahan degup jantungnya yang menggila, Ila malah dengan sengaja menatapnya terang-terangan begitu.

Suasana kembali canggung, sampai Mayang datang dan memeluk Andra erat. Ada tangis bahagia yang terselip dalam ruang inap pasien itu, membuat siapapun yang melihat ikut terbawa suasana. Tak terkecuali Ila, yang kini malah menangis lagi. Bedanya, ada seulas senyum di tengah air matanya.

***

Fragment [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang