Fragment 3:2

16 6 0
                                        


Keesokan harinya, desas desus mengenai Ila yang menyatakan cinta pada Vino mulai terdengar. Entah siapa yang menyebarkan berita itu, sebab Ila juga tidak masuk hari ini. Setelah adegan drama hujan-hujanan di tengah patah hati kemarin, cewek itu kena demam. Tidak terlalu parah, tapi cukup membuat tubuhnya lemas dan tidak bisa pergi ke sekolah.

Di bangkunya, Andra tidak bisa diam. Berkat kebiasaannya datang tepat saat bel masuk berbunyi, dirinya tidak sempat bertemu Vino saat mendengar gosip hangat tadi pagi.

“Ila ujan-ujanan kemaren karena patah hati ditolak Vino.”

Kurang lebih, kalimat itu yang didengar Andra tadi pagi. Dan sisanya malah sibuk menggosipkan Vino yang memang dikenal susah move on. Yah, meskipun punya wajah ganteng dan bisa saja mendapatkan cewek manapun, tapi sayangnya hati Vino hanya untuk Zara. Gadis mungil berkacamata yang jarang sekali tersenyum, tapi amat manis di mata Vino.

Dulu, waktu mereka berdua berpacaran, banyak cewek-cewek yang merasa iri pada Zara. Meskipun terlihat cuek, tapi perilaku Vino akan berubah manis dan romantis kalau dengan Zara. Mereka selalu jadi pasangan idaman, hingga pada akhirnya Zara memutuskan hubungannya secara sepihak dengan alasan ingin fokus belajar. Klasik. Dan hal itu cukup membuat Vino trauma akan yang namanya cinta.

Buat Vino,  hatinya sudah terlanjur jatuh dan Zara yang sudah memungutnya. Sangat sulit, bahkan Vino tidak bisa meminta hatinya kembali, sebab Zara sudah membawanya pergi.

Di tempatnya, Andra lagi-lagi terganggu pada kelas yang kian ramai, sebab beberapa detik lagi bel istirahat akan berbunyi. Sampai dering kencang yang membikin sakit telinga itu mengalun indah. Buru-buru Andra bergegas meninggalkan kelas. Dengan satu hentakkan, Andra bangun dari posisi duduknya, membuat Galuh, teman sebangkunya tersentak kaget.

“Apaan sih, Ndra! Ngagetin!” omelnya yang hanya dianggap Andra angin lalu.

Tanpa memedulikan omelan Galuh, Andra buru-buru bergegas menuju XII IPA 1 yang letaknya memang lumayan jauh dari kelasnya. Saat ini, hanya Vino satu-satunya orang yang dapat menjelaskan situasi ini.

***

Angin berhembus, menerbangkan dedaunan kering yang berguguran. Sebagian daun masih menari-nari terbawa angin, sisanya menampar wajah Andra yang kini masih duduk sendirian di bawah pohon menunggu kedatangan Vino. Berkat kesibukan si wakil ketua OSIS itu, sejak tadi Andra hanya makan gorengan dan minum es teh manis ditemani nyamuk yang sesekali menggigit wajahnya. Niatnya Andra ingin menemui Vino di kelasnya, tapi sayangnya yang bersangkutan justru tidak ada di kelas.

Plak!

Entah sudah yang keberapa kalinya Andra menampar wajahnya sendiri. Bermaksud menepuk nyamuk, namun apa daya nyamuk itu lebih gesit daripada gerakan tangannya. Sampai seorang cowok dengan muka lusuh dan masih sambil mengunyah permen karet, datang menghampiri Andra.

Baru saja hendak membuka mulut, Vino sudah mengangkat tangannya mengisyaratkan untuk Andra tidak bicara dulu. Cowok ganteng itu malah duduk di sebelah Andra, sambil menyibak rambutnya asal. Kalau saja Vino melakukan gerakan tadi di tengah lapangan, sudah pasti akan banyak cewek-cewek yang menjerit histeris. Tapi sayangnya, Andra bukan salah satu dari cewek-cewek alay itu.

Andra masih diam, menatap datar pada Vino yang kini malah merebahkan tubuhnya di rerumputan.

“Gue tau apa yang mau lo omongin, nanti gue jelasin,” ucapnya sembari melirik es teh manis yang kelihatan menggoda. “Bagi dong!”

Vino berucap, bahkan tanpa sedikitpun menatap Andra dan malah merebut es teh yang sejak tadi berada dalam genggaman Andra. Lagi-lagi, Andra hanya bisa diam melihat Vino yang tengah menyesap minumannya sampai tandas. Di luar, Vino memang terkenal sebagai cowok dingin yang digilai cewek-cewek. Tapi di hadapan Andra, Vino adalah cowok pecicilan yang gagal move on. Begitulah setidaknya apa yang Andra pikirkan.

Andra masih belum bicara, membiarkan Vino untuk menjelaskan apa yang terjadi.

“Apa yang lo dengar dari orang-orang memang benar, Ila nembak gue.”

Masih dalam mode diamnya, namun hati Andra serasa mencelos. Merasa dibohongi dan dikhianati oleh sahabatnya sendiri. Kenapa Vino tidak pernah mengatakan padanya sejak lama? Tahu begitu, Andra tidak mungkin memaksa Ila. Meskipun dirinya memang tidak pernah memaksa Ila, hanya saja jika Andra tahu sejak awal ia akan menekan perasaannya sendiri dan membiarkan Ila memilih siapa yang ia sukai.

Tapi semua sudah terjadi, tanpa sadar Andra malah menyakiti Ila. Bukannya menjadi obat, justru dirinyalah sumber dari rasa sakit yang diderita Ila.

“Kenapa lo nggak pernah cerita? Kenapa lo Cuma diam dan menonton? Kenapa lo minta gue jadi hujan, sedangkan lo adalah petirnya?! Kenapa?!” kalap, Andra berteriak sembari menarik kerah baju Vino. “Kita udah nyakitin dia, dan dengan bodohnya gue malah menambah lukanya!”

“Nggak Ndra, justru gue melakukan ini supaya nggak nyakitin dia. Memang akan terdengar jahat, tapi kalau gue berpura-pura dan nerima Ila, itu akan jauh lebih nyakitin dia. Gue hanya nggak mau nyakitin kalian.”

Andra diam sejenak, mencari-cari kebohongan dari mata Vino. Namun sayang hasilnya nihil. Vino terlalu jujur, dan hal itu justru menjadi kekuatan sekaligus kelemahan cowok itu. Perlahan, cengkraman Andra pada kerah baju Vino mulai melemas, sampai akhirnya benar-benar terlepas.

Andra hanya menghela napas kencang, kemudian ikut merebahkan tubuhnya di samping Vino. Pikirannya kini hanya tertuju pada Ila. Entah bagaimana perasaannya kini, rasanya bercampur jadi satu. Kecewa, sakit hati, lelah, semuanya melebur menjadi perasaan yang asing. Andra tidak pernah menyangka, kalau jatuh cinta akan serumit ini. Sekali lagi, Andra menghembuskan napasnya kencang, sembari melipat lengannya dan meletakkannya di wajah. Bahkan rasanya, cahaya matahari siang ini mampu menusuknya.

“Maafin gue, Ndra. Gue hanya nggak mau menyakiti kalian, meskipun pada akhirnya, gue tetap nyakitin kalian.”

Andra belum menjawab. Membiarkan suasana hening menyelimuti mereka. Ia bukannya marah pada Vino, tidak sama sekali. Tidak ada yang salah dari perbuatan Vino, hanya saja Andra jadi semakin kesal pada dirinya sendiri. Wajar saja Ila jadi sangat membencinya saat ini.

“Pasti Ila benci banget sama gue sekarang.” Vino berucap dramatis, namun terkekeh diujung kalimatnya.

“Ila benci sama gue, bahkan dia nyuruh gue untuk nggak nunjukkin diri di depan dia.”

Mendengar ucapan Andra barusan, Vino reflek membalikkan badannya ke samping. Menatap lurus sahabatnya yang masih setia dengan posisi terlentang, dengan lengan yang menutup sebagaian wajahnya.

“Maksud lo apa, Ndra?!”

***

Sekali lagi, Ila berusaha menutup matanya. Gelombang panas yang dirasakannya memang sudah tidak sehebat semalam, namun tetap saja matanya tidak bisa terpejam. Di saat tubuhnya terasa nyeri sana-sini, otaknya malah terus saja memutar adegan saat di parkiran kemarin. Kalau boleh jujur, Ila bukan sakit karena hujan.

Hujan tidak pernah membuat Ila merasakan sakit seperti ini. Justru sebaliknya, hujan selalu membuatnya merasakan tenang dan bahagia. Sejak kecil, cewek itu memang sudah sering main hujan-hujanan. Tapi hujan tak pernah menyakitinya sampai seperti ini.

“La, makan dulu, Nak,” ucap seseorang yang entah sejak kapan sudah berada di dalam kamar Ila.

“Ila nggak lapar, Yah.”

Ila menggeleng pelan, sambil menyembunyikan wajahnya di balik selimut. Dani hanya bisa menghela napas pasrah melihat kelakuan anak satu-satunya itu. Sejak kepergian Ibunya, Ila bahkan tidak pernah se-murung ini. Entah apa yang terjadi padanya.

“Yasudah, makanannya ayah bawa lagi. Kalau lapar, panggil Ayah,” ucap Dani sebelum berlalu.

“Yah....”

Mendengar panggilan itu, Dani cepat-cepat berbalik dan mendapati Ila yang sudah duduk di tepi ranjang. Anak gadisnya itu menatapnya dengan tatapan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

“Yah, apa yang akan Ayah lakuin kalau semisal ada orang yang memaksa Ayah melakukan sesuatu yang diluar kehendak Ayah?” tanya Ila yang malah menerbitkan kerutan di dahi sang Ayah.

“Maksud Ila? Memaksa dalam konteks apa?” Dani menaruh nampan berisi makanan yang tengah dipegangnya di nakas, kemudian duduk berhadapan dengan Ila.

“Memaksa Ila, untuk mencintai dia, Yah.”

***

Fragment [END]Where stories live. Discover now