19. Putri Kebanggaan

3.1K 640 206
                                    

Okelah karena kalian pada tergila-gila banget sama si Jill, nih kukasih lagi. Tapi part ini gak terlalu panjang. Jangan protes ya. Nanti aku ngilang lama lho. 😂😂😂😂

"Pa, kalau nanti Papa udah sehat lagi, kapan-kapan kita main ke pantai, ya?" Jill berujar penuh semangat. Padahal Jill tahu, sulit bagi ayahnya untuk diajak bepergian. Bahkan untuk duduk dalam waktu lama saja Stanley sudah tidak sanggup. Sepanjang waktunya hanya dihabiskan untuk berbaring dalam kesendirian.

Stanley tersenyum lemah.

"Jill sering kangen sama waktu-waktu kita dulu, Pa." Jill membelai lembut lengan sang ayah. "Papa tahu nggak? Papa tuh keren banget, tau! Papa serba bisa. Papa bisa buat istana pasir yang besar banget, bagus lagi. Jill selalu kalah. Jer juga nggak bisa. Belum-belum istana pasir yang Jer buat selalu rubuh, dan Jer pasti nangis."

Stanley mendengarkan sambil pikirannya ikut terbang ke masa itu. Masa ketika ia masih sedemikian gagah dan menjadi pahlawan super di mata anak-anaknya.

Inilah yang selalu Jill lakukan saat menemani Stanley di kamar. Ia akan bercerita apa saja untuk menghibur sang ayah. Ia tahu Stanley merasa begitu kesepian. "Terus Papa juga jago berenang. Papa kuat pegangin Jill sama Jer, ada ombak juga pegangan Papa nggak pernah lepas. Sampe Jill jadi nggak ada takutnya sama ombak."

Stanley kembali tersenyum.

"Terus Papa inget nggak waktu kita surfing? Pertama kalinya Papa ajarin Jill surfing, Jill sampe nangis-nangis. Badan Jill bonyok-bonyok karena nggak berhasil naik ke papan, yang ada jatuh terus nabrak-nabrak papan." Jill terkekeh sendiri mengingat kebodohannya dulu.

Stanley memandangi Jill sedemikian rupa. Putri pertamanya. Kesayangannya. Kebanggaannya. Putrinya yang penuh perhatian. Putrinya yang sangat pengertian, yang tidak pernah menuntut atau pun mengeluh.

"Pa, Jill kangen banget sama Papa." Jill menyatukan telapak tangannya dengan telapak tangan sang ayah. Dibawanya tangan kurus Stanley dan menempelkannya di pipinya. "Jill bukan nyalahin Papa yang sakit, sama sekali nggak pernah, Pa. Jill terima keadaan kita ini, Pa. Jill juga tetap sayang Papa. Buat Jill, Papa tetap yang terhebat. Tapi ada masa-masa Jill kangen banget pengin mengulang momen-momen yang dulu."

Untuk pertama kalinya sejak menemani Stanley di rumah sakit, pertahanan Jill runtuh di depan mata sang ayah. Hatinya begitu sedih saat ini. Air matanya mengalir semakin deras ketika merasakan tangan keriput Stanley yang membelai lemah pipinya.

Jill merasakan ponsel di sakunya bergetar. Gangguan ini setidaknya berhasil menyelamatkan Jill dari situasi muram yang tiba-tiba melingkupi dirinya dan Stanley.

"Pa, ada telepon. Bentar, ya?" Jill cepat-cepat menghapus air matanya, kemudian berjalan keluar meninggalkan kamar rawat ayahnya. Jill berjalan tergesa, mencari area yang cukup sepi di lorong rumah sakit, sambil menerima panggilan video call dari Kai.

Belum juga Jill sempat mengatakan apa-apa, suara Kai sudah terdengar. "Kamu ke mana aja? HP kamu nggak aktif dari kemarin siang, Jill."

"Maaf, Pak." Ditatapnya sepasang ayah dan anak di layar ponselnya dengan perasaan bersalah. Nyatanya ia memang melupakan janjinya untuk menerima setiap panggilan video call dari Kai. Sebelum mendengar kabar tentang ayahnya yang sakit, Jill selalu menepati janjinya. Namun begitu kabar yang cukup buruk itu mengejutkannya, Jill melupakan janjinya.

"Tunggu ...." Kai yang tadinya sudah berniat menuntut penjelasan dari Jill, langsung membatalkan niatnya ketika menyadari sesuatu yang janggal dengan gadis ini. "Ada apa sama mata kamu?"

COOL Single DaddyUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum