01 : Perintah Mutlak

50.3K 2.3K 16
                                    

Tidurku terganggu saat merasakan sinar matahari menyusup disela-sela tirai kamar yang belum terbuka dengan sempurna, membuka mata aku mulai menyesuaikan penglihatan yang masih kabur. Aku mengerjabkan mata beberapa kali untuk mengembalikan kesadaran yang masih belum terkumpul, sampai aku menyadari saat pandanganku terarah pada jam dinding yang terletak di ujung paling atas dalam kamar ini.

Aku tersentak bangun ketika jam menunjukkan pukul 07.15 pagi, lalu mataku menoleh ke samping di mana seseorang yang menemaniku tidur selama dua bulan lamanya.

"Astaga, aku telat," pekikku sambil mengacak rambutku yang makin berantakan.

Berlari ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menyikat gigiku lalu mengganti baju tanpa mandi, aku keluar dari kamar menuju ke ruang makan. Sesampainya di sana aku meringis ketika suamiku dan mama mertuaku sudah duduk di tempat masing-masing bersiap untuk makan.

"Hai, kamu sudah bangun?"

Suara berat milik suamiku membuatku tersentak, aku memasang senyum manis guna menghalau rasa tidak enak akibat aku terlambat bangun.

"Iya, Mas. Maaf aku kesiangan," ujarku pelan merasa bersalah.

"Nggak pa-pa kok, kamu pasti capek karena semalam. Ayo, sini duduk samping aku." Mas Raihan melambaikan tangannya memyuruhku mendekat.

Diingatkan kejadian semalam membuat wajahku mau tidak mau memerah saking malunya, beruntung mas Raihan tidak berkata secera detailnya. Aku mendekat lalu duduk di sampingnya, baru saja aku akan mengambil nasi goreng sebuah suara bernada ketus milik mama mertuaku terdengar setelahnya.

"Enak banget ya, bangun tidur langsung sarapan. Kayak Nyonya besar!"

Gerakan tanganku terhenti seketika, baru aku akan membuka mulut untuk meminta maaf. Suara mas Raihan langsung menyela. "Ma, udah dong."

"Apa?" Mata mama Rita melotot. "Kamu tuh ya, suka banget ngebela istri kamu. Itu yang membuat dia makin ngelunjak, harusnya dia tahu tugasnya sebagai seorang istri itu melayani suaminya sebelum berangkat kerja. Bukannya malah bangun kesiangan tanpa rasa bersalah."

"Ma, aku bilang cukup!" geram mas Raihan makin membuatku merasa bersalah, kejadian ini bukan pertama kalinya aku alami. Aku tidak tahu apa yang membuat mama Rita sangat membenciku, karena sejak awal aku dekat dengan mas Raihan. Mama Rita selalu menatapku tidak suka dan kebenciannya itu makin bertambah setelah aku dan mas Raihan menikah.

Seperti biasa juga mas Raihan akan selalu membelaku di depan mama Rita, hingga membuat beliau semakin marah padaku.

"Raihan, Mama hanya ingin memberi nasihat pada istrimu agar dia belajar dengan baik." Suara mama Rita lebih melunak namun aku tahu kalau mama Rita menyimpan emosi di dalam hatinya.

"Aku tahu, Rayana bisa belajar pelan-pelan, kan? Lagian kami baru menikah dua bulan, aku yakin Rayana bisa jadi istri yang baik untuk aku."

"Tapi...."

"Ma, aku mohon. Tolong berhenti," potong mas Raihan dengan nada lelah.

Aku yang sejak tadi hanya menonton perdebatan ibu dan anak itu hanya diam, apalagi mereka berdebat tentang aku.

Saat pandanganku bertemu dengan mama Rita, aku langsung menundukkan kepala ketika matanya tajam menghunus ke dalam netra mataku.

"Ra, ayo makan. Kamu harus ke kantor, kan?" Aku mengangguk pelan lalu melanjutkan sarapanku yang sempat tertunda.

Kami bertiga makan dalam keheningan, tidak ada suara lagi sampai makan dipiring kami habis.

Mama Rita memilih kembali ke kamarnya, sedangkan aku mengikuti langkah mas Raihan ke teras depan yang akan berangkat ke kantor.

"Aku berangkat dulu ya, kamu juga harus segera mandi. Nanti kamu telat ke kantor lagi, dan jangan masukin dihati ucapan Mama tadi." Aku memberikan senyum lebar, supaya mas Raihan tidak cemas dengan keadaanku.

Mas Raihan membalas senyumanku. "Kalau gitu, aku berangkat dulu," pamitnya kemudian.

"Hati-hati di jalan, Mas," pesanku setelah mencium punggung tangannya.

***

Saat akan memasuki kamar langkahku tertahan dengan panggilan mama Rita, aku menoleh lalu tersenyum lebar. "Ada apa, Ma?"

"Saya mau bicara sama kamu sekarang, kita bicara di ruang tengah."

"Baik, Ma." Aku mengikuti langkah mama Rita ke ruang tengah, setelah duduk di sofa aku menunggu apa yang ingin beliau katakan.

"Kapan kamu resign dari pekerjaan kamu?" tanyanya tanpa basa-basi sama sekali.

Sungguh aku sudah tidak terkejut lagi dengan pertanyaan ini keluar dari bibir mama Rita, beliau bahkan sudah pernah bertanya tentang ini sebelum aku menikah dengan mas Raihan.

"Maaf, Ma. Aku sudah mengurus surat pengunduran diriku di kantor, tapi ada pekerjaan yang harus aku selesaikan dulu sebelum resign," jelasku masih dengan tersenyum.

"Saya nggak mau tahu, kamu harus segera selesaikan semua kerjaan kamu secepatnya, dan jangan lupa bantu Mbak Marni bersihkan sisa sarapan yang di atas meja." Setelah mengatakan itu mama Rita berlalu meninggalkanku duduk sendirian di ruang tengah.

Aku menghela napas panjang, lalu beranjak dari tempat dudukku menuju ke meja makan untuk membantu Mbak Marni.

Aku segera membawa beberapa bekas piring ke dapur, begitu melihat Mbak Marni sedang mencuci piring aku pun mendekat dan menawarkan bantuan.

"Mbak Marni, biar aku yang lanjutkan cuci piringnya. Bibi bisa istirahat dulu saja."

Bibi Marni lantas menolak. "Nggak usah, Non. Biar saya saja yang cuci, Non kan mau berangkat kerja juga."

"Tapi, Mbak...."

"Udah deh, Non. Mbak saja yang cuci, cepat mandi sana nanti Non telat lagi kerjanya."

"Nggak pa-pa kok, Mbak. Biar aku aja yang cuci, pokoknya Bibi istirahat dulu." Aku mengambil alih pekerjaannya dengan fokus mencuci piring.

"Non?"

Panggilan dari Mbak Marni sontak membuatku menoleh. "Mbak, sudah aku bilang jangan panggil aku dengan panggilan itu. Cukup panggil nama aku aja." Aku pura-pura memasang wajah merajuk.

Hal itu membuat Mbak Marni tertawa kecil. "Kamu kan istrinya Tuan muda, jadi sudah seharusnya Mbak panggil dengan panggilan Nona," jelasnya kemudian.

"Ya udah deh, terserah Mbak aja."

Setelah aku mencuci piring, aku pamit ke kamar untuk mandi sesegera mungkin. Apalagi jam sudah menunjukkan pukul 07.35 yang kemungkinan aku akan terlambat ke kantor.

Aku sudah siap ke kantor dan pamit ke mama Rita yang sedang duduk di ruang tamu dengan rangkaian bunga di atas meja.

"Ma, aku pamit ke kantor dulu," kataku sambil mengulurkan tangannya pada beliau, namun sayangnya tidak ditanggapi oleh mama Rita sama sekali.

Beliau malah berkata, "Ingat pesan saya, segera keluar dari kantor itu dan tinggal di rumah dan belajarlah menjadi istri yang baik."

Aku mengangguk. "Baik, Ma."

"Hm."

"Aku pergi dulu, Ma. Assalamualaikum," pamitku sekali lagi yang dijawab gumaman dari mama Rita.

Setiap hari selama dua bulan aku menjalani rumah tangga dengan mas Raihan, perlakuan seperti ini selalu aku dapatkan. Aku harus bersabar karena aku yakin suatu saat mama Rita akan menerimaku sebagai menantunya.

***

Bersambung

Part pertama udah up ya, nantikan kisah Raihan dan Rayana 😊

(Not) A Choice BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang