#Dusta (2) - Senin Minggu ke Dua Bulan Juli

2 0 0
                                    

Tajuk : Who Are You?

Sang Pendusta terkekeh.

Entah sudah berapa ribu orang menjadi korban muslihatnya, tetapi keuntungan lelaki itu tak pernah buntung. Ia hanya perlu berpura-pura sakit, mengumbar kesedihan, menarik perhatian banyak orang, menunggu donasi mereka yang mengucur dengan deras. Alhasil? Kini ia dapat menghirup udara segar Lembang tanpa perlu bersusah payah.

Tak ada sakit keras, tak ada kaki yang patah, tak ada rasa depresi yang berlebihan hingga membuatnya ingin bunuh diri. Lelaki itu baik-baik saja selama hayatnya, tetapi tak ada yang tahu.

Namun, Ketika Sang Pendusta tengah menertawai kebodohan orang-orang, seorang kakek tua muncul. Langkahnya tertatih, bagaikan kursi tua dengan kaki yang koyak.

"Saya mengetahui apa yang kaulakukan, Nak." Kakek itu berucap, membuat Sang Pendusta meludah.

"Aku tidak mengenalmu."

"Kau tidak perlu mengenal saya untuk menyadari apa yang kauperbuat."

Suara berat kakek itu membuat bising, itulah yang Sang Pendusta pikirkan. Tanpa basa-basi, ia mencerca.

"Kakek tua bau, apa yang kauinginkan sampai-sampai sengaja memperhatikan hidupku?"

"Saya hanya ingin kau berhenti membohongi orang-orang."

Bodoh sekali, batinnya. Memangnya siapa dia hingga mengatur-atur hidupnya?

"Kenapa aku harus melakukan itu? Orang-orang senang akan dusta yang kuberikan. Mereka menunjukkan rasa simpati, merasa menjadi orang paling tulus untuk membantuku. Dari kacamataku, tak kulakukan kesalahan sama sekali. Aku, mereka, sama-sama untung."

"Kau tidak tahu bahwa di luar sana ada orang-orang yang kau replika. Orang-orang yang benar-benar sakit, membutuhkan bantuan, dan kau seenaknya membohongi orang-orang, berpura-pura menjadi salah satu dari mereka."

"Kalau begitu, orang-orang yang sakit itu harus belajar dariku, Kakek, bukan memerintahkanku untuk berhenti."

"Apa kau pernah dibohongi? Bagaimana jika kau dibohongi dengan kematian? Saya rasa itu setimpal dengan perbuatanmu yang berpura-pura akan mengunjungi kematian."

Belum sempat Sang Pendusta berargumen, Kakek tua itu mengeluarkan sepucuk pistol, diserahkannya pada Sang Pendusta.

Sang Pendusta menerimanya. Ia pikir kakek tua itu hanya ingin bermain-main. Namun, ketika ia mengadahkan kepala setelah memperhatikan pistol itu, Sang Pendusta tak pernah menemukan si Kakek.

Sang Pendusta tak habis pikir. Pistol yang digenggamnya berisi amunisi, namun hanya satu peluru. Apakah si kakek tua itu benar-benar ingin ia mati?

Namun, tentu Sang Pendusta menganggap dirinya lebih cerdas. Ia hanya perlu menembakkan pistol di tempat yang tepat tanpa perlu membunuhnya. Kemudian? Tentu saja ia akan mengarang cerita, kembali menarik simpati orang-orang.

Akhirnya, lelaki itu menodongkan pistol pada salah satu kakinya, menggigit bibir untuk menghalau rasa cemas akan perbuatan pertamanya ini. Jari telunjuknya ragu, tetapi pada akhirnya ia mampu menarik pelatuk. Sebutir peluru ditembakkan, menembus paha dan mengeluarkan darah. Anehnya, lelaki itu tak merasakan sakit sama sekali.

Lelaki itu terkejut bukan main. Darah mengalir deras, membuat genangan pada keramik rumah. Tapi, ia benar-benar tidak merasakan sakit.

Kenapa?

Sang Pendusta semakin penasaran. Ia menenggak racun tikus, tetapi tubuhnya tak bereaksi.

Ia mencoba untuk tak makan selama berminggu-minggu, tapi ia tak pernah merasakan lapar.

Lelaki itu menggantung dirinya, tetapi kerongkongannya tak tersumbat.

Ia mulai mencari bermacam-macam cara untuk membunuh dirinya. Berhenti tepat di depan kereta yang melaju, membuat aliran listrik di genangan air dan menginjaknya, hingga menancapkan pisau pada pelipisnya. Namun, semuanya nihil. Lelaki itu tak pernah mati.

Lelaki itu mulai putus asa. Ia tak dapat membiarkan kakek tua itu menang. Namun, Sang Pendusta terus memutar otak. Bagaimana caranya ia dapat mengakhiri hidup?

Bom. Benda itu adalah salah satu alasan bunuh diri paling logis. Tubuhnya akan hancur, berbeda dengan metode-metode bunuh diri yang ia lakukan sebelumnya.

Akhirnya, lelaki itu mengumpulkan bahan peledak, kemudian mengumumkan pada semua orang bahwa ia akan mati. Tentu saja dengan bangga.

Lelaki itu menekan tombol merah dengan senang hati. Ledakan muncul dari tubuhnya yang dipasangi bom. Getaran yang kuat membuat beberapa kaca rumah pecah. Ledakannya dipastikan mampu membuat siapapun yang menggunakannya hancur berkeping-keping.

Tapi, apakah lelaki itu benar-benar mati?

Tampaknya, kematian masih senang membohonginya. Sebab, di balik kaca museum, orang-orang masih bisa melihat bagian-bagian tubuh lelaki yang berserakan itu menggeliat bagaikan seonggok daging yang hidup.

DAILY WRITTER FWI (July 2019 Edition)Where stories live. Discover now