#Tidak Kenal (2) - Rabu di Minggu Pertama Bulan Juli

16 4 0
                                    

ID Wattpad : Black_december

Tema : Tidak Kenal

Tajuk: Penjelajah Waktu Pedofil

Aku menatap bagaimana anak lain tertawa ketika melihat kehadiranku melewati salah satu ayunan. Banyak dari mereka berkasak-kusuk ria tentang warna mataku yang terlihat aneh bagi mereka. Kata mereka salah satu warna mataku bisa melihat hantu dan mereka mengataiku macam-macam karena, konyol 'kan?

Aku sendiri takut dengan yang namanya hantu, bagaimana mungkin Tuhan mengkaruniai anak imut, cantik dan baik hati macam diriku malah diberi kemampuan melihat hal-hal mengerikan semacam hantu?

Ayah selalu bilang, warna mataku unik—dan jika harus kujelaskan aku mendapat keturunan warna mata berbeda ini dari DNA beliau. Mata biru di kanan dan Hijau di kiri. Dulu aku menganggap warna mata ini lucu karena aku mempunyai kucing yang juga mempunyai warna mata yang berbeda.

Namun, ketika kau berumur enam tahun, kau sadar semua anak di sekitar rumah tidaklah sependapat. Bahkan ada dari mereka yang menyebut salah satu mataku adalah mata boneka, mata buatan atau bahkan donor mata dari pria yang mati di jalan.

For God Sake! Bukankah dunia ini sangat kejam untuk anak kecil sepertiku?! Maksudku, hei aku tahu ini warna mata yang jarang ditemukan, tetapi bukan berarti ini warna yang buruk!

"Ugh!" erangku melempar salah satu krayonku ke tanah.

Mataku panas melihat gambar yang baru saja kubuat di bangku taman ini. Gambar sederhana di atas kertas kumal, gadis kecil dengan rambut coklat ikal dan sebuah wajah yang kosong. Tak ada sepasang mata atau bahkan senyuman. Aku tidak tahu harus mengisi wajah gadis itu dengan apa. Apa aku harus memberi si gadis warna mata biru atau hijau? Atau keduanya? Apakah aku harus memberinya senyuman atau bibir mengerut?

Entahlah. Manapun tidak ada yang kusuka.

"Ini punyamu?" sahut seseorang yang membuatku mendongakkan kepala.

Tanpa tahu dari mana datangnya, seorang paman datang dan ikut duduk di bangku. Tangan kanannya yang berbulu, mengembalikan krayon biruku. Aku tidak tahu bagaimana menceritakan pada kalian soal si paman asing ini. Dia hampir berumur seperti ayahku, tapi tentunya lebih muda. Rambut pendeknya hitam gelap, wajah paman ini tidaklah tua dan kusam seperti ayah, malahan mungkin tampan. Seperti aktor terkenal favoritku di televisi.

"Terima kasih," kataku mengerjap fokus pada dagunya ditumbuhi rambut tipis dan seketika aku teringat, "Paman ... pedofil, ya?" tanyaku tiba-tiba.

Bibir menyembut tawa tertahan sampai rasanya aku kira air liurnya muncrat ke tanah. "Kenapa kau bertanya begitu?" tanyanya masih terbahak.

Aku mengangkat bahu. "Kata Papa, kalau ada laki-laki dewasa yang dekat-dekat sama Cheryl, itu namanya pedofil," jelasku dengan suara khas cadel milikku, "kalau ada yang begitu, Papa nyuruh Cheryl supaya cepat pulang atau teriak sama orang kalau paman adalah pedofil."

"Paman bukan pedofil," jelas si paman menyeringai dengan cara yang tak kumengerti, "tapi emang sih, wajah kamu imut sekali.

Aku mengangguk, "Iya dong!" sahutku begitu percaya diri, "kata Papa saking imutnya, Papa gak mau Cheryl deket-deket sama anak cowok lain. Pokoknya Cheryl sama Papa aja sampai gede!"

Paman itu kembali tertawa dan bahkan sampai memeluk perutnya sendiri. Keningku semakin mengerut di tengah udara panas yang menguap. Memangnya apa ucapanku tadi lucu?

"Cheryl serius!" kataku bersikeras.

"Iya-iya, tahu!" kata Paman mengambil jeda dan mengusap kepalaku lembut, "tapi kalau Paman bilang Cheryl pas gede nikahnya sama ummm ... sama pengeran tampan!"

"Emangnya paman bisa melihat masa depan ...?" balasku penasaran.

Lelaki itu mengangguk.

Aku menggeleng, "Paman ngaco deh," kataku mengejek.

"Tapi ini pangeran, lho!" katanya seperti tukang iklan di televisi. "Masa Cheryl gak mau menikah sama pengeran?!"

Aku mengangkat bahu lagi, "Emangnya pangerannya seperti apa?"

"Pangerannya tampan," kata si paman terkekeh dan menyandarkan punggunggnya di bangku.

"Lalu abis itu apa?" tanyaku asal.

Angin semilir seketika datang menyapa dan membuat guguran daun layu tertarik oleh gravitasi. Aku masih memandang paman itu hampir terpesona kala satu daun hinggap di kepalanya yang sedikit menunjukkan helaian putih. Kepalaku berimajinasi, kalau paman ini pasti lebih tampan lagi.

"Kamu akan punya anak yang lucu-lucu." Bibir Paman menyulam senyum. "Di antara mereka ada yang mewarisi mata indahmu."

Aku sempat tertegun di detik itu pula, "Mata Cheryl?" tanyaku menunjuk milikku sendiri, "apa mereka bakal baik-baik saja?"

"Kenapa begitu?"

Mulutku memoncong ke samping sampai rasanya pipi ikut tertarik. Sementara kakiku masih menjuntai di bangku, melawan arah angin. "Temen-teman Cheryl bilang mata ini seperti mata boneka orang mati."

"Kalau begitu mereka salah," kata si Paman dan menyapa hidungku dengan jemarinya, "matamu adalah mata yang paling indah yang pernah kulihat."

Sebuah cekikikan geli ke luar dari mulutku, tak bisa kutahan. Paman ini punya keahlian menyenangkan anak kecil. Aku tidak peduli kalau Paman ini mungkin sedikit punya jiwa pedofil. Sejujurnya ini adalah pengalaman yang asik bersama pedofil walau beberapa saat.

Namun, pertemuan ini tak berlangsung lama ketika kudengar suara ayah menggelegar di seberang. Kedua tangannya mengacak pinggang, sementara matanya membunuh ke arah si Paman. Duh, bisa gawat!

"Paman, Cheryl pulang dulu ya!" kataku buru-buru membereskan semua krayonku, "nanti kalau Paman gak sibuk, kita ketemu lagi ya?"

Wajahnya kembali menyembul senyum dan entah alasan apa, aku pun ikut senang. "Ya, pasti," jawabnya dan melambai.

Langkahku sudah siap melesat menjauh sampai di satu detik selanjutnya, aku memutuskan berbalik lagi dan memandang si Paman tampan itu sekali lagi. "Nama Paman siapa?" tanyaku.

"Nathan," katanya.

Oke, nama Paman tadi Nathan. Nathan Nathan Nathan Nathan. Itu mudah diingat. Aku pasti tidak akan melupakannya.

***

Mataku terus mengikuti punggung mungil itu menjauh. Sosok Steve—ayah Cheryl—masih saja memelototiku. Namun, tak apa. Ini adalah beberapa menit berharga walau hanya sebentar. Melihat wajahnya, melihat tawanya, melihat matanya yang memantulkan bayang diriku. Itu adalah detik-detik yang akan selalu kuingat.

Tanganku merayap ke kantong dan mengambil dompet. Dengan punggung bersandar santai, kubuka dompet tadi melihat foto sepasang pengantin yang tersenyum di bawah guguran bunga. Si pria dalam balutan jas hitam dan si wanita dalam hiasan gaun renda bagai bunga yang mekar.

Tertulis di foto dalam tulisan tangan favoritku:

Nathan dan Cheryl semoga bahagia selalu sampai maut memisahkan.

***

The End

Ini hanya semacam khayalan sesaatku abis nonton film Time Traveler's Wife yang uaneh tenan teori soal perjalanan waktunya.

Cerita soal siapa itu Nathan atau siapa itu Cheryl tidak serumit ini he he. Kalian bisa cek sisanya di akun Black_december.

Juga, aku akan sangat berterima kasih kalau kalian bisa menemukan kesalahan dalam tulisan ini.

Sekian.

DAILY WRITTER FWI (July 2019 Edition)Where stories live. Discover now